Berburu Kopi Luwak Organik di Desa Tepal

24 Apr 2023 9 min read No comments Uncategorized @id

 Udara dingin menembus kulit bukan pantangan bagi warga Desa Tepal, Kecamatan Batu Lanteh, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB), untuk memulai aktivitas di pagi hari.

Meski masih tertutup kabut putih, warga sudah bersiap menuju ladang dan kebun kopi. Ada yang berjalan kaki sejauh puluhan kilometer dengan medan terjal dan berlumpur. Ada pula yang memilih mengendarai sepeda motor.

Desa yang disebut selamat saat letusan maha dahsyat Gunung Tambora pada tahun 1815 ini berada di ketinggian 867 Mdpl. Saat menanti musim panen kopi, warga mengisi waktu dengan berladang agar dapur tetap mengepul.

Desa ini dihuni sekitar 507 KK dengan total 1877 jiwa tersebar di tiga Dusun Tepal, Riu dan Pusu.

Sambil bersiul, Sulhafat (28) mulai menyiapkan perlengkapan berburu. Ia yakin hari ini akan lebih baik dari kemarin.

“Rezeki itu Allah yang ngatur. Tugas kita berusaha menjemputnya,” kata Sulhafat Selasa (11/4/2023).

Ia memanaskan motor sembari bersenandung. Matahari terbit sudah mulai menyapa di ufuk timur. Kali ini Sulhafat akan menuju kebun kopi milik sang sepupu, Haris (30).

“Misi utama kita hari ini berburu kopi luwak. Semoga beruntung,” kata Sulhafat.

Ia begitu yakin akan mendapatkan peruntungan lebih baik.

Ia sudah menyusun rencana dengan sahabatnya, Sahrul (25) tadi malam. Ia yakin rencana tersebut matang dan tidak akan meleset.

Sebelum menjadi petani kopi di kampung halaman, Sulhafat pernah bekerja di Bali dan Jakarta. Ia tidak pernah memilih pekerjaan. Saat itu, pandemi Covid-19 membuatnya harus pulang kampung.

Hingga kini, ia masih betah mengabdi di kampung. Kebun kopi yang berjarak 2 kilometer dari perkampungan itu berada di atas pegunungan Puncak Ngengas.

Sebagai wilayah hutan lindung, Desa Tepal diapit oleh tiga wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yaitu Batu Lanteh, Puncak Ngengas dan Orong Telu.

Perjalanan berliku, berbatu dan berlubang akan memacu adrenalin saat menuju kebun kopi. Jalan yang licin dan berlumpur semakin sulit dilalui ketika musim penghujan seperti sekarang ini.

Di jalan maupun di kebun kopi ada banyak lintah karena kondisi tanah yang basah dan lembab.

Bagi pemuda seperti Sulhafat, berburu kopi luwak cukup menyenangkan karena selain mengisi kekosongan sambil menunggu musim panen kopi pada Juli dan Agustus, aktivitas itu sekaligus memberikan tambahan penghasilan.

“Hasil berburu kopi luwak tidak menentu, dalam satu hari jika nasib baik bisa dapat keseluruhan 1-2 kilogram, tetapi pernah juga tidak dapat sama sekali,” kata Sulhafat.

Kopi luwak adalah kopi yang berasal dari kotoran luwak atau musang kelapa. Ada dua jenis kopi luwak, liar dan penangkaran. Namun, di Desa Tepal belum ada kopi luwak penangkaran, hanya ada luwak liar.

Haris mengatakan, luwak yang dikandang tak leluasa bergerak untuk memilih buah kopi terbaik karena makanan disodorkan oleh pemelihara.

Ketika luwaknya liar, maka bisa hidup lebih bebas karena bisa memilih jenis kopi yang berkualitas.

“Luwak liar akan menghasilkan kopi luwak yang bercita rasa tinggi,” kata Haris.

Kebun kopi yang kali ini didatangi adalah milik orangtua Haris, yaitu bapak Ulumuddin.

“Ini kebun kopi arabika tertua di Tepal. Ada sejarahnya kebun ini,” ungkap Haris.

Ia menambahkan, luwak memiliki naluri untuk memilih kopi paling bagus dan naluri itu menjadi proses awal menentukan kualitas kopi luwak terbaik.

Cara memanggil luwak liar dengan menyebarkan beberapa biji kopi di beberapa titik tertentu. Hal ini karena luwak tidak terlalu suka tempat yang penuh cahaya matahari. Sedangkan, cara yang lain adalah membiarkan luwak memetik sendiri dan memakan biji kopi yang ada di ranting pohon.

“Luwak tahu mana biji kopi yang berkualitas dan siap dimakan karena memiliki indera penciuman yang tajam,” imbuh Haris.

Berburu kotoran luwak liar bisa dibilang susah gampang, celetuk Sahrul. Warga harus berlomba-lomba di pagi hari mencari kotoran karena beberapa kebun kopi tidak dikunci oleh pemiliknya.

Menurut Sahrul, mencari kotoran luwak tidak begitu sulit. Pemburu harus memperhatikan mekanisme perburuan dengan mengikuti jejak luwak serta mengikuti bekas makannya.

Biasanya, kotoran luwak berada di daerah yang bersih. Sebab, menurut Sahrul, hewan itu tidak akan membuang di tempat kumuh.

Dulu, masyarakat menganggap kotoran luwak sebagai sesuatu yang menjijikkan sehingga saat masyarakat setempat menemukan itu hanya dilihat saja, bahkan dibuang. Namun, saat ini terbalik mereka bahkan memburunya.

Sairman (32) menambahkan, masih ada masyarakat yang menganggap luwak adalah hama atau predator.

Hal itu karena luwak bisa memakan buah kopi tetapi tidak bisa dipastikan di mana mereka mengeluarkan kotoran.

Karena kebun kopi satu dengan yang lain meskipun memiliki pagar tetapi luwak bisa loncat ke sana kemari dan bebas sehingga banyak yang warga melakukan upaya agar luwak tidak masuk ke kebun kopinya.

Pada musim petik buah kopi antara bulan Juli sampai Agustus, populasi luwak akan semakin banyak. Biasanya, pada malam hari, luwak berloncatan dari satu pohon kopi ke pohon yang lain untuk memilih kopi yang buahnya berkualitas.

Sairman menyebutkan, pada pagi hari di sela kebun kopi, warga biasanya mengumpulkan kotoran luwak antara dua sampai empat kilogram kopi luwak basah setiap hari dan jumlahnya itu memang tidak bisa diukur.

“Kopi luwak hanya sebagai bonus, karena kita belum kelola maksimal,” kata Sairman.

Mencicipi kopi luwak

Disebut memiliki cita rasa khas, kopi luwak Tepal disajikan dengan sangat sederhana melalui proses tradisional. Ada juga yang diproses modern tetapi pemuda di desa tersebut lebih senang seruput ala tradisional.

Sambil menikmati kopi luwak usai berbuka puasa, suasana khas pedesaan semakin terasa. Ada sensasi nikmat yang membuat rindu dan memorable.

Sebagai Barista yang sudah tersertifikasi, Sairman juga tahu bagaimana proses membersihkan kotoran luwak hingga tersaji menjadi minuman yang nikmat.

Pertama, kotoran luwak dicuci di air mengalir. Kotoran harus hilang dari biji kopi. Lokasi pengolahan kopi terlihat sederhana. Sebab pengolahan masih tradisional. Tidak ada deru mesin giling atau alat modern yang digunakan. Dalam proses biji kopi dicuci hingga bersih.

Pencucian berulang kali untuk menghilangkan kotoran luwak. Setelahnya biji kopi dijemur di bawah sinar matahari selama dua pekan hingga kandungan air mencapai 12 persen.

Setelah kering, biji dikupas. Ada alat pengupasnya. Biji yang sudah lepas dari kulitnya di pilah berdasarkan bentuk dan juga ukuran. Selanjutnya proses roasting.

Setiap kopi luwak harus melewati tahap percobaan apabila lulus bubuk kopi baru dikemas dan siap disajikan proses ini rata-rata makan waktu 14 Hari.

“Ada mesin kopi tapi di koperasi serba usaha Puncak Ngengas. Karena sudah tutup, kita coba minum kopi luwak yang di seduh manual saja,” kata Sairman sembari tersenyum.

Kisah perjalanan menyusuri kopi Tepal memiliki ragam cerita. Seperti Sairman yang memilih berhenti menjadi guru dan beralih menjadi petani kopi dan barista.

“Saya sempat jadi guru di SDN Tepal, tapi tidak ada biaya untuk lanjut kuliah. Saya juga malu minta bantuan orangtua. Jadi saya keluar, dan mulai tanam kopi,” kisah Sairman.

Meski sering mengikuti pelatihan dan festival kopi, ia terus belajar otodidak tentang perkopian Indonesia. Termasuk melaksanakan standar untuk menghasilkan kopi bermutu tinggi.

Potensi kopi luwak

Tepal memiliki potensi kopi luwak organik, arabica specialty dan fine robusta.

“Potensi dan mutu bagus, harga juga bagus. Tetapi ada kisah yang buat saya malas kumpulkan kopi luwak,” kata Ahdar (50) pemilik brand kopi Tepal.

Sebagai ketua Asosiasi Petani Kopi Pulau Sumbawa, Ahdar pernah mengumpulkan kopi luwak karena permintaan investor yang juga kawannya sendiri pada tahun 2016.

“Sudah dikumpulkan banyak oleh petani kopi di setiap kelompok, karena saya yang minta. Tetapi tidak jadi dibeli, saya kan jadi kecewa,” kisah Ahdar.

Ke depan, jika ada investor yang meminta kopi luwak dalam jumlah banyak, ia mensyaratkan ada surat perjanjian dulu. Hal itu karena proses pengelolaan kopi luwak ini tidak mudah. Butuh waktu yang panjang.

Ketika mendekati musim panen kopi fine robusta maka populasi luwak juga semakin banyak.

“Karena luwak makan kopi cherry merah, tidak mau dia yang kualitas tidak bagus. Apalagi yang masih hijau, tidak dilirik,” sebut Ahdar.

Sejarah kopi di Desa Tepal

Sejarah awal kopi di Desa Tepal dimulai pada tahun 1915, saat itu masih zaman penjajahan Belanda. Jika dihitung, jaraknya dengan letusan Tambora pada April 1815 maka hampir satu abad baru masuk peradaban kopi di pegunungan Batu Lanteh tersebut.

“50 tahun pasca-letusan Tambora, di Kabupaten Sumbawa itu belum pulih, ada tanaman jenis tertentu yang bisa tumbuh,” kata Yadi Surya Diputra, pegiat sejarah dan penulis buku Sumbawa Tahun 1876.

Kisah kopi berawal saat salah satu alim ulama masyhur yaitu Dea Imam Sumbawa dan Dea Imam Tepal pulang ke Indonesia usai melaksanakan ibadah haji.

Saat kapal berlabuh di Jawa (Batavia), mereka bertemu dengan sahabatnya yang juga ulama. Bibit kopi arabika itu diberikan oleh temannya sebagai buah tangan.

Lalu disemai oleh Dea Imam Tepal di lahan satu hektar yang menjadi cikal bakal kebun kopi pertama di desa tersebut.

Ada juga pendapat yang mengatakan bibit kopi itu di bawah oleh Sultan Amrullah saat pulang umroh. Bibit kopi di bawah dari Arab. Bibit kopi itu disebut kopi Belanda yaitu arabica S7 yang berbuah 4 tahun sekali. Karena alasan itu, masyarakat tidak dikembangkan kopi jenis ini.

“Kopi S7 jika pelindungnya kurang, maka buahnya tidak bagus karena banyak yang tanpa biji meski buahnya petik merah,” kata Ahdar.

Selanjutnya, pada masa orde lama sekitar tahun 1958, masyarakat mulai menanam kopi robusta. Bagi orang Tepal, lazim disebut kopi Jawa, karena bibitnya dari Jawa. Saat itu, kopi robusta pegunungan Batu Lanteh hanya ada di Desa Tepal.

Setelah desa yang lain di pegunungan Batu Lanteh mengetahui ada kopi robusta, mereka mulai mencari bibit ke tempat lain. Pada tahun 1962, kopi robusta mulai di kembangkan di desa tetangga, yaitu Baturotok.

“Ada bibit dari Tepal juga yang di bawah ke Baturotok. Ada juga bibit dari Jawa tetapi tidak banyak,” jelas Ahdar.

Setelah kopi robusta berhasil dikembangkan di Desa Baturotok. Masyarakat Desa Tepal mulai menanam kopi robusta secara masif dan diikuti oleh desa-desa lainnya di Kecamatan Batu Lanteh.

Kopi Arabika jenis Lini S 795 akrab disebut kawa (kopi dalam bahasa Sumbawa) unggul merupakan bibit hasil dari pengembangan kopi yang dilakukan oleh Dinas Perkebunan dan Kehutanan pada tahun 1983. Harapannya, dapat meningkatkan nilai produk masyarakat.

Penyebaran kopi tersebut dimulai di Desa Tepal dan Dusun Punik Desa Batudulang. Saat itu kopi arabika dan robusta memiliki harga sama, hingga petani banyak memilih tanam robusta.

“Kini setelah sekian tahun akhirnya harapan itu terwujud. Saat ini kopi arabika memiliki peningkatan harga lebih signifikan,” kata Ahdar.

Sebelum terjun di bisnis kopi, Ahdar pernah merantau di Jakarta. Ia bekerja sebagai sales, pedagang hingga pengrajin pigura.

Namun, mimpi indah di ibu kota harus dikubur ketika terjadi krisis moneter pada tahun 1998. Ia akhirnya kembali ke kampung halaman. Bermodal kebun kopi robusta warisan seluas 2 hektar, ia mulai membangun mimpi yang baru.

Ahdar terus berupaya bagaimana meningkatkan mutu dan membina petani kopi di Tepal. Pada tahun 2000 ia mendirikan koperasi serba usaha Puncak Ngengas. Ia mulai membangun jejaring dan brand kopi Tepal.

“Pada tahun 2003 kita dapat bibit kopi arabika jenis bagus yaitu andung sari,” imbuh Ahdar.

Perluasan dan pengembangan area kebun kopi semakin masif, pemerintah melalui Kementerian Koperasi dan UKM memberikan bantuan pada 4 kelompok tani senilai satu miliar dan 4 kelompok di Desa Baturotok dengan nilai yang sama.

Saat itu, kelompoknya mulai dibina oleh Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) Indonesia.

Ia mulai menjadi pemateri di acara temu lapangan petani kopi pada tahun 2011. Saat awal bangun brand kopi Tepal, Ahdar mengikuti banyak festival kopi dan kerap memberikan kopi secara gratis. Hal itu dilakukan agar kopi dikenal banyak orang di seluruh Indonesia.

“Saya juga pernah ikuti festival di Arab Saudi. Itu semakin menambah kuat branding kopi Tepal hingga mancanegara,” cerita Ahdar.

Sampai hari ini, harga jual kopi arabika Rp 60.000 per kilogram. Sedangkan robusta, tahun ini naik ke harga Rp 30.000 dari sebelumnya Rp 20.000 per kilogram.

Di Desa Tepal, potensi kopi robusta sampai 600 ton, sementara untuk Kecamatan Batulanteh, jika hasil panen bagus bisa 2.000 ton per tahun. Meski begitu, kopi dari Sumbawa belum bisa ekspor karena tingkat produksi masih rendah.

“Kita belum bisa penuhi permintaan pasar internasional. Sekarang kita masih pengembangan dan perluasan kopi arabika,” katanya.

Ahdar juga terus berupaya menaikan grade kopi Tepal.

Sumber: kompas.com

Author: Ido Delia

Tinggalkan Balasan