Suku Dayak merupakan salah satu suku di Indonesia yang berada di Kalimantan.
Menurut penelitian Coomans (1987) yang didukung oleh Inoue (1999), suku Dayak adalah keturunan imigran dari Provinsi Yunnan di China Selatan tepatnya di Sungai Yangtse Kiang, Sungai Mekhong dan Sungai Menan.
Sebagian dari kelompok ini menyeberang ke semenanjung Malaysia sebagai batu loncatan pertama.
Kemudian, mereka menyeberang ke bagian utara Pulau Kalimantan hingga ke selatan.
Di Kalimantan Selatan, orang dari suku Dayak pernah membangun Kerajaan Nansarunai.
Pada tahun 1309-1389, Kerajaan Majapahit menghancurkan Kerajaan Nansarunai.
Akibatnya, orang suku Dayak yang berdiam di daerah tersebut terdesak dan terpencar.
Setelah tahun 1520, orang suku Dayak banyak yang terpengaruh ajaran agama Islam dari Kerajaan Demak.
Akulturasi budaya mulai terjadi dan sebagian orang suku Dayak memeluk agama Islam kemudian meninggalkan adat Suku Dayak.
Sementara suku Dayak yang menolak ajaran Islam, kemudian menyusuri sungai dan masuk ke pedalaman seperti Batang Labuan Amas, Batang Amandit, Amuntai, Kayu Tangi, dan Batang Balangan.
Enam Rumpun Suku Dayak
Setelah terpencar, kini suku Dayak memiliki enam rumpun besar di Kalimantan.
Mereka adalah Apokayan, Klemantan, Ot Danum Ngaju, Murut, Klemantan, dan Iban, dikutip dari Gramedia.
Selain sejarah yang panjang, suku Dayak memiliki berbagai upacara adat di antaranya Mamat dan Kancet Hudoq (tari topeng).
Berikut ini dua tradisi suku Dayak, dikutip dari laman Kebudayaan Kemdikbud.
Upacara Adat Mamat
Mamat adalah upacara adat paling sakral dalam sejarah Dayak Kenyah.
Mamat merupakan upacara kemenangan, kejayaan dan pemantapan keberanian pria sebagai prajurit perang serta menolak roh jahat.
Upacara ini dilakukan dibawah tugu Belawing.
Tugu Belawing biasanya berukir dan terdapat patung burung enggang yang sedang mengibaskan sayapnya di pucuk tugu.
Burung ini sebagai lambang kedamaian dan kemenangan dalam peperangan.
Acara Mamat dilaksanakan jika suku Kenyah menang dalam perang dan membawa beberapa kepala musuh.
Sehingga, upacara ini juga sebagai penghormatan pada prajurit sebagai pilar pertahanan garis depan (Panyit nyipe).
Suku Dayak yang menang dalam perang kemudian membawa tengkorak kepala musuh untuk disimpan di lamin Bio (rumah besar) yang didiami oleh raja (Paren) atau kepala suku/Kepala adat besar.
Tengkorak ini digantungkan di serambi dengan di atas tungku api Kepala Adat dan tidak boleh diturunkan atau dipindahkan ke luar rumah Kepala Adat karena dianggap sebagai asset sehingga harus dijaga dengan baik.
Karena sangat sakral, upacara adat ini penuh dengan pantangan.
Bagi yang melanggar akan mendapat bencana baik yang bersangkutan maupun bagi kelompoknya.
Kancet Hudoq (Tari Topeng)
Suku Dayak memiliki kebudayaan khasnya, yaitu tari topeng atau yang biasa disebut Kancer Hudoq.
Kancet Hudoq biasanya dimainkan oleh perempuan yang sudah berumur rata-rata di atas 50 tahun.
Setiap penari memakai topeng (hudoq) yang terbuat dari manik, diiringi musik jatung.
Tujuan dari tari ini adalah untuk menolak bala yang mungkin terjadi di desa.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Tinggalkan Balasan