Kampung Miduana dihuni 280 keluarga, yang terdiri dari 557 laki-laki dan 650 perempuan.
Mereka tersebar di 11 Rukun Tetangga yang ada di 4 Rukun Warga. Mayoritas mata pencaharian warganya adalah bertani dengan menjalankan ‘tetekon’ atau aturan tradisi tata kelola pertanian yang dijalankan secara turun-temurun.
Meski secara administratif berada di Kabupaten Cianjur, Kampung Adat Miduana sejatinya jauh lebih dekat ke Kabupaten Bandung.
Dari pusat Kabupaten Bandung, jaraknya hanya sekitar 20 kilometer, sementara dari pusat Kabupaten Cianjur, jaraknya tak kurang dari 168 kilometer.
Tak heran, dusun di ujung selatan Kabupaten Cianjur ini akhirnya kerap luput” dari perhatian pemerintah setempat.
Akibatnya, banyak bangunan adat di kampung ini mulai beralih fungsi. Bahkan keberadaannya sebagai kampung adat juga mulai terancam.
Ketua Lokatmala Foundation, Wina Resky Agustina, mengatakan dari riset kecil yang mereka lakukan di Kampung Adat Miduana, mereka menemukan kenyataan bahwa kekosongan regulasi dalam pengubahan status kampung menjadi Kampung Adat telah memicu terjadinya sejumlah permasalahan di kampung tersebut.
“Selama ini, belum ada pengawasan yang memadai dari pemerintah pusat maupun provinsi, juga pemerintah daerah Kabupaten Cianjur. Sehingga sangat mendesak adanya sebuah revitalisasi berkelanjutan di bidang infrastruktur dan fisik bangunan adat yang sekarang sebagian telah beralih fungsi karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap sebuah pelestarian kampung adat,” ujar Wina, dalam diskusi budaya, yang digelar di kantor PWI Cianjur, belum lama ini.
Hal lain yang juga mengkhawatirkan, ujar Wina, adalah mulai lunturnya tradisi yang menjadi ciri khas di kampung adat ini.
“Oleh karena itu juga diperlukan keterlibatan para praktisi seni budaya untuk berkolaborasi dengan komunitas adat yang ada di Miduana agar menghidupkan kembali sisa-sisa seni budaya tradisi yang sudah punah,” ujarnya.
Wina mengatakan, keberadaan Kampung Adat Miduana bagi Jawa Barat setidaknya dapat menjadi daya tarik tersendiri karena di lokasi tersebut juga terdapat berbagai peninggalan atau situs yang menarik dan perlu dilestarikan dan dirawat.
Seperti Situs Batu Rompe yang diyakini warga sebagai sisa peninggalan ribuan tahun lampau berupa batu menhir yang sudah hancur berkeping yang diduga akibat bencana.
Tak jauh dari lokasi Batu Rompe terdapat Arca Cempa Larang Kabuyutan yang dipercaya warga setempat sebagai peninggalan kebudayaan Sunda dan berusia lebih dari 2.000 tahun.
“Di sana juga terdapat Kampung Kubang Bodas yang hingga kini masih memelihara adat istiadat kesundaan yang lebih kuat. Terdapat juga situs Goa Ustralia atau Goa Australia, namun untuk mencapai lokasi-lokasi tersebut dibutuhkan persiapan dan perlengkapan perjalanan memadai karena medannya cukup menantang,” katanya.
Tenaga Ahli Bupati Bidang Hubungan Masyarakat, Saep Lukman, yang juga hadir dalam acara diskusi, mengatakan Desa Balegede, di mana Kampung Adan Miduana, kata Saep, dihuni 2.083 keluarga yang terdiri dari 2.999 laki-laki dan 3.036 perempuan.
Sebanyak 817 keluarga di desa ini masih tergolong keluarga pra-sejahtera. Hanya 220 keluarga masuk level keluarga sejahtera 3 plus.
Padahal, kata Saep, Kecamatan Naringgul memiliki beragam potensi wisata berbasis alam dan budaya. Ada Curug Dendeng di Desa Wangunjaya, Curug Ceret di Desa Naringgul, dan Curug Marta di Desa Sukamulya.
“Belum lagi Gunung Pabeasan di Desa Malati, Situ Padli, Arca Cempa Larang Kabuyutan, Arum Jeram Cipandak, Rest Area Naringgul, Kampung Adat Miduana/Bumi Perkemahan Miduana, dan Curug Perak di Desa Balegede, serta msih banyak lagi, termasuk Curug Pancuran, Wisata Ofroader, Arung Jeram dan Kampung Adat Datar Kipait,” kata Saep.
Semua itu, menurut Saep, memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan.
“Alhamdulillah Pak Bupati sangat mendukung. Termasuk soal revitalisasi Kampung Adat Miduana, baik dari sisi regulasi maupun sisi infrastruktur,” kata Saep.(ferry amiril)
sumber: tribunnews.com
Tinggalkan Balasan