Kabupaten Samosir, Sumatera Utara memiliki sekitar 47 desa wisata yang sedang dalam tahap rintisan. Beberapa di antaranya bahkan sudah termasuk dalam kategori desa wisata mandiri.
Salah satu desa yang sudah termasuk dalam kategori tersebut adalah Desa Wisata Bagot di Parlondut, Pangururan, Samosir.
Sesuai dengan namanya, desa wisata yang satu ini menawarkan aktivitas unik menikmati produk olahan nira yang disebut bagot. Bagot adalah salah satu minuman khas Batak yang seringkali dikenal dengan sebutan arak atau tuak.
Desa Parlondut merupakan salah satu desa di Samosir yang memproduksi bagot. Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir menyadari potensi wisata menikmati bagot yang ada di sana, dan mulai mengembangkannya sejak awal tahun 2020 silam.
Baca juga:
- Gaya Umi Pipik Naik Jetski di Danau Toba Berbusana Syar’i-Pakai Cadar
- Mampu Pangkas Perjalanan Jadi 1,5 Jam, dari Medan ke Danau Toba Lewat Jalan Tol Baru Ini, Miliki Panjang 143,25 Km
- 5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat
- Bali Disebut Tak Layak Dikunjungi Turis, Anggota DPR: Jadi Bahan Evaluasi
- Soroti Keindahan Alam Danau Toba di Aquabike Jetski World Championship 2024
Mereka pun membentuk Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) di Desa Parlondut untuk mengembangkan potensi tersebut menjadi objek wisata unggulan baru di Samosir.
“Nira ini sekarang sedang kita kemas, kesannya kalau minum nira atau tuak ini kan seram gitu,” kata Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Samosir Dumosch Pandiangan ketika dihubungi Kompas.com, Senin (22/3/2021).
Untuk mengubah stigma tersebut, Dumosch menjelaskan sistem penyuguhan bagot ini di desa tersebut. Pada intinya, bagot akan disuguhkan dengan nuansa yang lebih santai. Selain itu, ada pula pembatasan jumlah konsumsi bagot untuk setiap orangnya agar tak memabukkan.
“Maksimal minum niranya paling dua sampai tiga gelas. Habis itu enggak boleh. Orang datang ke situ untuk santai, menikmati keindahan alamnya,” imbuh Dumosch.
Aktivitas wisata di Desa Wisata Bagot
Sejak pertengahan hingga akhir tahun 2020 silam, Dumosch menyebut jumlah wisatawan yang datang ke Desa Parlondut sudah cukup banyak. Mereka yang datang biasanya memang para penggemar nira serta kuliner khas Batak.
Selain menikmati sajian bagot tersebut, wisatawan juga memang bisa berwisata kuliner dengan mencicipi aneka sajian tradisional Batak di sana.
Wisatawan juga bisa mempelajari proses pembuatan bagot yang masih dilakukan secara tradisional oleh paragat, yakni orang yang memanen atau mengambil air nira langsung dari pohon enau. Wisatawan bisa bertanya langsung pada mereka.
“Jadi orang yang memanen, mengambil niranya itu berada di tempat dan kampung itu sendiri. Kita bisa saksikan setiap hari dia pergi ke pohonnya, jam berapa dia pulang. Bisa kita saksikan,” jelas Dumosch.
Tak hanya menikmati, wisatawan juga bisa membawa pulang olahan nira yang ada di Desa Parlondut ini sebagai oleh-oleh.
Wisatawan juga bisa menginap di Desa Wisata Bagot karena masyarakat telah menyediakan fasilitas homestay yang berkualitas baik dengan harga terjangkau.
Baca juga:
- Gaya Umi Pipik Naik Jetski di Danau Toba Berbusana Syar’i-Pakai Cadar
- Mampu Pangkas Perjalanan Jadi 1,5 Jam, dari Medan ke Danau Toba Lewat Jalan Tol Baru Ini, Miliki Panjang 143,25 Km
- 5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat
- Bali Disebut Tak Layak Dikunjungi Turis, Anggota DPR: Jadi Bahan Evaluasi
- Soroti Keindahan Alam Danau Toba di Aquabike Jetski World Championship 2024
Rata-rata biaya yang kamu butuhkan untuk berwisata ke sana juga tak terlampau tinggi. satu gelas bagot biasa dibanderol dengan harga Rp 5.000. Sementara homestay-nya biasa memiliki tarif Rp 100.000–Rp 150.000 per kamar.
Desa Parlondut ini juga terletak di daerah yang cukup strategis, sehingga mudah dijangkau dari jalan raya utama. Hanya sekitar 600 meter dari jalan raya utama, terus mengarah ke perbukitan.
“Kemudian dia juga tidak terlalu jauh dari salah satu objek wisata kita di Pangururan, namanya hot spring atau pemandian air panas (Aek Rangat Pangururan),” ujar Dumosch.
Setelah puas berendam di pemandian air panas, kamu bisa melepas lelah dengan menginap di homestay Desa Wisata Bagot sekaligus menikmati minuman berbahan nira tersebut, sambil melihat pemandangan indah Danau Toba.
Kendala pengembangan Desa Wisata Bagot
Dalam pengembangannya, Dumosch tak memungkiri adanya kendala yang harus dihadapi. Salah satunya adalah kesulitan masyarakat desa untuk memenuhi permintaan bagot dari para wisatawan.
Jumlah kunjungan wisatawan hingga kini memang sudah cukup tinggi, sehingga permintaan bagot pun juga cukup tinggi. Seringkali masyarakat kesulitan memenuhinya karena mereka masih melakukan sendiri proses produksi bagot tersebut.
“Kedua, orang datang ke situ masih ada nagih. Kalau sudah dua gelas, masih minta lagi. Itu jadi kendala juga,” terang Dumosch.© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi tuak pohon lontar.
Namun setelah melalui proses edukasi dan sosialisasi bahwa bagot yang disajikan di sana bukan untuk dikonsumsi hingga mabuk, perlahan wisatawan pun mengerti.
Selanjutnya, adalah kendala dalam hal peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM). Dumosch menyebut bahwa masyarakat di sana, khususnya para anggota Pokdarwis, masih harus mendapatkan pelatihan, khususnya dalam bidang kuliner.
“Supaya mereka bisa mengembangkan, di samping tuak, mereka juga bisa mengembangkan atau membuat satu produk yang menarik untuk wisatawan,” imbuh Dumosch.
Baca juga:
- Gaya Umi Pipik Naik Jetski di Danau Toba Berbusana Syar’i-Pakai Cadar
- Mampu Pangkas Perjalanan Jadi 1,5 Jam, dari Medan ke Danau Toba Lewat Jalan Tol Baru Ini, Miliki Panjang 143,25 Km
- 5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat
- Bali Disebut Tak Layak Dikunjungi Turis, Anggota DPR: Jadi Bahan Evaluasi
- Soroti Keindahan Alam Danau Toba di Aquabike Jetski World Championship 2024
Bahkan kalau bisa pelatihan tersebut bergerak di bidang selain kuliner. Misalnya, di bidang seni kerajinan.
Saat ini pihak Dispar Kabupaten Samosir sedang beusaha untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) untuk bisa mengadakan pelatihan di desa ini untuk para pelaku ekonomi kreatif.
“Jadi di tempat itu justru nanti banyak produk ekonomi kreatif yang bisa dibeli oleh pengunjung, bukan hanya tuaknya aja,” pungkas Dumosch.
sumber: kompas.com
Tinggalkan Balasan