Jenis, Fungsi, dan Hierarki Ulos dalam Praktik Adat Batak

18 Nov 2025 14 min read No comments Budaya
Featured image
Spread the love

Laporan ini menyajikan analisis mendalam mengenai Ulos, wastra (kain) adat masyarakat Batak, dengan fokus pada tipologi (jenis) dan peruntukannya (fungsi) dalam konteks ritual adat. Melampaui katalogisasi sederhana, laporan ini membedah Ulos sebagai artefak sosiologis dan spiritual yang sentral. Menggunakan kerangka kerja antropologi budaya, analisis ini membedah bagaimana Ulos berfungsi sebagai medium material untuk transfer berkat (pasu-pasu), penanda status sosial, dan pengikat aliansi dalam struktur kekerabatan Dalihan Na Tolu. Laporan ini memetakan penggunaan Ulos dalam tiga siklus kehidupan utama (kelahiran, pernikahan, kematian), menganalisis hierarki Ulos tertinggi (Ragidup, Jugia) sebagai sertifikasi kehidupan paripurna (saurmatua), dan melakukan diferensiasi kritis antara tradisi Toba (Ulos) dengan wastra serumpun dari sub-kelompok lain (Karo Uis Gara, Simalungun Hiou, Pakpak Oles, dan Mandailing). Terakhir, laporan ini meneliti dikotomi antara pelestarian sakral dan transformasi sekuler Ulos di era modern.

 

Ulos sebagai Jantung Budaya Batak: Tinjauan Filosofis dan Kultural

Filosofi Tiga Sumber Kehangatan

Bagi masyarakat Batak, Ulos bukanlah sekadar kain atau busana. Ia adalah salah satu dari tiga pilar yang menopang kehidupan, yang dikenal sebagai “tiga sumber kehangatan”. Dalam kosmologi Batak, kehangatan (panas) adalah sinonim dari kehidupan itu sendiri. Ketiga sumber kehangatan tersebut adalah:

  1. Matahari (Las ni ari): Sumber kehangatan utama yang bersifat kosmis dan ilahiah.
  2. Api (Las ni api): Sumber kehangatan domestik untuk memasak dan menghalau kegelapan.
  3. Ulos (Las ni ulos): Sumber kehangatan sosial dan spiritual.

Nenek moyang Batak, yang tinggal di dataran tinggi yang dingin, awalnya menggunakan Ulos sebagai penghangat tubuh.4 Namun, fungsinya segera berevolusi. Ulos menjadi simbol kehangatan yang berasal dari kasih sayang, perlindungan orang tua kepada anak, dan berkat (pasu-pasu).6 Dalam setiap helai benang dan motifnya, Ulos menyimpan jalinan sejarah, spiritualitas 7, dan kehormatan.

 

Dalihan Na Tolu: Struktur Sosial yang Mengatur Peredaran Ulos

Peruntukan Ulos tidaklah acak. Ia diatur secara ketat oleh struktur sosial fundamental masyarakat Batak, khususnya Toba, yang disebut Dalihan Na Tolu (Tungku Berkaki Tiga). Sistem ini mendefinisikan secara pasti siapa yang memberi dan siapa yang menerima Ulos, yang mencerminkan aliran berkat dan kehidupan.

  1. Hula-hula (Pihak Pemberi Istri): Diposisikan sebagai sumber berkat, kehormatan, dan kehidupan (hagabeon). Dalam adat, mereka adalah pihak superior yang memberikan Ulos.
  2. Boru (Pihak Penerima Istri/Anak Perempuan): Diposisikan sebagai penerima berkat. Mereka adalah pihak yang menerima Ulos dari Hula-hula mereka sebagai tanda kasih sayang dan doa restu.
  3. Dongan Tubu (Saudara Semarga): Merupakan hubungan horizontal yang didasari solidaritas.

Ulos, dengan demikian, selalu mengalir ke “bawah”, dari Hula-hula ke Boru, mengikuti aliran berkat.

 

Mangulosi: Ritual Transfer Berkat dan Status

Mangulosi adalah prosesi adat inti di mana Ulos diberikan. Ini bukanlah sekadar “memberi kain”, melainkan sebuah ritual sakral untuk “mengalungkan” atau “menyelimuti” seseorang dengan Ulos. Tata cara mangulosi bisa beragam, seperti meletakkannya di bahu (sihadanghononhon) , melilitkannya sebagai sarung (siabithonon), atau mengikatnya di kepala (sitalitalihononhon).

Secara esensial, tindakan mangulosi adalah transfer doa, harapan baik, dan kasih sayang secara fisik. Ini adalah tradisi turun-temurun yang sangat penting; mengabaikannya dapat dianggap sebagai pelanggaran adat dan berpotensi menimbulkan sanksi sosial.9 Prosesi ini seringkali berlangsung meriah dan memakan waktu lama, diiringi alunan musik gondang.

 

Ulos sebagai Medium Transfer Tondi dan Kontrak Sosial

Lebih dalam dari sekadar simbol, Ulos berfungsi sebagai medium fisik untuk transfer tondi (daya kehidupan atau jiwa). Dalam struktur Dalihan Na Tolu, Hula-hula (pemberi istri) dipandang sebagai sumber hagabeon (kesuburan, keturunan). Ketika Hula-hula memberikan Ulos kepada Boru mereka, mereka tidak hanya memberikan kain; mereka secara ritual mentransfer esensi kehidupan, kesuburan, dan perlindungan spiritual kepada garis keturunan mereka. Ulos, yang secara tradisional ditenun oleh perempuan (sumber kehidupan), menjadi kendaraan material untuk berkat ilahiah tersebut.

Pada saat yang sama, Ulos berfungsi sebagai kontrak sosial yang mengikat. Adanya “aturan adat” yang ketat mengenai Ulos  dan “sanksi sosial” bagi yang melanggarnya  menunjukkan bahwa Ulos adalah dokumen publik. Ketika sepasang pengantin menerima Ulos Hela , mereka tidak hanya menerima hadiah; mereka secara publik dan ritual menerima peran, tanggung jawab, dan aliansi baru yang ditetapkan oleh adat. Menerima Ulos berarti tunduk pada tatanan Dalihan Na Tolu.

 

Katalog Ulos Berdasarkan Peruntukan dalam Siklus Kehidupan (Partuturan)

Peruntukan Ulos paling jelas terlihat dalam siklus kehidupan manusia, mulai dari kelahiran, pernikahan, hingga kematian. Setiap Ulos memiliki nama, motif, dan fungsi spesifik yang telah ditetapkan.

Tabel Jenis Ulos Batak, Makna Filosofis, dan Peruntukan Adat Utama

Nama Ulos (Nama Alternatif) Makna Filosofis/Simbolisme Utama Peruntukan Adat Primer Pemberi/Penerima Umum
Ulos Mangiring Motif “mengiringi”, doa agar segera mendapat keturunan (adik). Kelahiran, Gendongan (Parompa) Nenek/Kakek kepada Cucu
Ulos Bintang Maratur Motif “bintang teratur”, doa untuk kehidupan teratur, harmonis, dan seimbang. Kelahiran (Ulos Mula Gabe), Pemberian Nama Hula-hula kepada Boru (putri) yang hamil anak pertama
Ulos Ragi Hotang Motif rotan (hotang), simbol ikatan yang kuat, langgeng, dan tak terputus. Pernikahan (Ulos Hela) Orang tua pengantin perempuan kepada kedua mempelai
Ulos Sibolang Lika-liku kehidupan; simbol duka (hitam dominan) atau suka (putih dominan). Duka Cita (untuk janda), Suka Cita (Pernikahan, sebagai Pamontari) Keluarga (duka), Orang tua (pernikahan)
Ulos Tujung Simbol kesedihan (hohom), penanda status baru. Kematian Diberikan kepada Janda atau Duda
Ulos Ragidup “Ragi Kehidupan”, simbol kehidupan paripurna, kesuburan, dan panjang umur. Pernikahan (Ulos Passamot), Status Tinggi Hula-hula kepada orang tua pengantin pria
Ulos Jugia Status tertinggi, kehidupan sempurna (Saurmatua). Status Dipakai hanya oleh yang sudah Saurmatua sempurna

 

Kelahiran dan Masa Kanak-Kanak (Ulos Mula Gabe)

Perjalanan Ulos dimulai saat kehidupan itu sendiri dimulai.

  • Ulos Parompa: Ini adalah peruntukan Ulos sebagai gendongan bayi (parompa). Fungsinya tidak hanya praktis untuk melindungi bayi dari dingin, tetapi juga spiritual sebagai simbol kasih sayang orang tua dan doa untuk kesehatan serta umur panjang. Jenis Ulos yang biasa digunakan adalah Ulos Sitolu Tuho atau Ulos Mangiring. Terdapat juga Ulos Lobulobu yang rumbainya sengaja tidak dipotong, dipercaya agar anak yang digendong tidak mudah jatuh.
  • Ulos Mangiring: Ulos ini sering diberikan oleh kakek-nenek sebagai parompa untuk cucu pertama. Motifnya yang “saling mengiringi” (beriringan) bukanlah sekadar hiasan. Ia adalah doa aktif dan eksplisit agar sang anak kelak segera diikuti oleh kelahiran adik-adiknya, baik laki-laki maupun perempuan, untuk “berjalan beriringan”.
  • Ulos Bintang Maratur: Ulos ini melambangkan harapan akan kehidupan yang teratur (maratur) seperti formasi bintang di langit. Ia diberikan sebagai Ulos Mula Gabe oleh pihak Hula-hula (orang tua istri) kepada putri mereka (boru) yang akan melahirkan anak pertama, sebagai penyemangat dan doa. Ulos ini juga digunakan dalam upacara mampe goar (pemberian nama) anak sulung.

Dalam konteks kelahiran, Ulos berfungsi sebagai “pemrogram” masa depan. Motif yang ditenun ke dalam kain bukanlah sekadar dekorasi pasif, melainkan doa aktif yang dimaksudkan untuk membentuk dan mengarahkan takdir sang anak menuju kesuburan (Mangiring) dan keteraturan (Bintang Maratur).

 

Pernikahan: Ritual Mengikat Aliansi

Prosesi mangulosi dalam pernikahan adat Batak adalah bagian yang paling sentral dan memakan waktu. Di sinilah Ulos berfungsi sebagai pengikat aliansi.

  • Ulos Ragi Hotang: Ini adalah Ulos pernikahan yang paling arketipal. Ragi berarti corak, dan hotang berarti rotan. Rotan adalah material yang sangat kuat, fleksibel, dan sulit diputuskan. Ketika Ulos ini diberikan oleh orang tua pengantin perempuan dan dililitkan di bahu kedua mempelai, itu adalah doa agar ikatan pernikahan mereka langgeng, kokoh, dan erat seperti rotan.
  • Prosesi Mangulosi Pernikahan: Prosesi ini adalah sebuah tatanan yang sangat metodis, bukan sekadar pembagian hadiah. Jika tenun adalah proses menyatukan benang-benang terpisah, maka mangulosi pernikahan adalah metafora dari tenun itu sendiri, di mana Hula-hula secara ritual “menenun” keluarga mereka (Boru) ke dalam jaringan kekerabatan baru (keluarga Paranak). Setiap Ulos yang diberikan adalah “benang” yang mengikat aliansi baru:
    • Ulos Passamot: Pemberian Ulos pertama, dari Hula-hula (orang tua pengantin wanita) kepada orang tua pengantin pria. Ini adalah narasi simbolis “penyerahan” pengantin wanita agar diterima dengan penuh kasih. Jenisnya bisa Ulos Ragidup, Ragi Hotang, atau Sadum.
    • Ulos Hela: Pemberian inti dari Hula-hula kepada kedua mempelai (hela berarti menantu laki-laki). Ini adalah simbol pelepasan putri mereka, diiringi doa. Ulos diselimutkan dan kedua ujungnya diikat, melambangkan bahwa kedua pengantin telah resmi “diikat” sebagai pasangan.13 Jenisnya biasanya Ulos Ragi Hotang atau Sadum.
    • Ulos Aliansi Lainnya: Prosesi dilanjutkan dengan pemberian Ulos kepada keluarga inti lainnya untuk memperkuat jaringan kekerabatan, seperti Ulos Pamarai (kepada saudara laki-laki pengantin pria), Ulos Sijalobara (kepada paman pengantin pria), Ulos Sihutti Ampang (kepada saudara perempuan pengantin pria), dan Ulos Tintin Marangkup (dari Tulang atau paman pengantin pria).
    • Ulos Penutup: Diakhiri dengan Ulos Holong (ulos kasih) dari keluarga besar dan Ulos Tonun Sodari, yang terkadang bisa digantikan dengan uang.

 

Kematian dan Duka Cita: Transisi Status

Ulos menemani manusia Batak hingga akhir hayatnya, menandai transisi status yang tak terhindarkan.

  • Ulos Sibolang: Ini adalah Ulos yang paling fleksibel, dapat digunakan untuk suka cita maupun duka cita.1 Motifnya yang bergelombang melambangkan lika-liku kehidupan. Dalam konteks duka, warna hitamnya lebih ditonjolkan.1 Ulos ini diberikan kepada seorang wanita yang ditinggal mati suaminya (janda) sebagai tanda penghormatan atas jasa-jasanya selama mendampingi almarhum.
  • Ulos Saput: Ini adalah sebutan untuk Ulos yang berfungsi sebagai kain penutup atau penyelimut jenazah.3 Seringkali, Ulos Sibolang digunakan untuk fungsi ini.
  • Ulos Tujung: Ini adalah Ulos duka yang paling spesifik. Ia berfungsi sebagai penanda status baru bagi seseorang yang menjadi janda (na mabalu) atau duda. Ulos ini dipakai di kepala (Simanjujung). Warnanya yang cenderung gelap melambangkan kesedihan (hohom).
  • Ulos Antak-Antak dan Ulos Bolean: Ulos ini umumnya dipakai sebagai selendang (hande-hande) oleh para orang tua atau kerabat dekat saat melayat orang meninggal.

Dalam siklus kehidupan, Ulos berfungsi sebagai stempel ritual. Signifikansinya terlihat jelas pada peran Hula-hula. Pihak Hula-hula adalah yang memasukkan seorang wanita ke dalam status “istri” melalui pemberian Ulos Hela saat pernikahan. Ketika suami wanita itu meninggal, pihak Hula-hula (atau Tulang jika istri yang meninggal) pulalah yang harus mengubah statusnya menjadi “janda” melalui pemberian Ulos Tujung. Ulos, di tangan otoritas adat yang tepat, adalah instrumen resmi untuk mengubah identitas sosial seseorang secara publik.

 

Hierarki dan Status dalam Tenunan: Ulos Kasta Tertinggi

Hierarki Ulos tidak didasarkan pada harga atau kemewahan material semata, melainkan pada pencapaian sosial dan spiritual tertinggi dalam budaya Batak: hagabeon (kesempurnaan keturunan).

Konsep Hagabeon dan Status Saurmatua

Tujuan hidup ideal seorang Batak adalah mencapai hagabeon, hamoraon (kekayaan), dan hasangapon (kehormatan). Dari ketiganya, hagabeon adalah yang terutama. Puncak dari hagabeon adalah status Saurmatua.

Saurmatua adalah kondisi kehidupan paripurna  di mana seseorang telah memiliki anak laki-laki dan perempuan, semua anaknya telah menikah, dan—yang terpenting—ia telah memiliki cucu dari semua anaknya. Hanya orang yang telah mencapai status inilah yang disebut na gabe (yang lengkap) dan berhak memakai Ulos kasta tertinggi.

 

Ulos Pinuncaan

Dikenal sebagai “induknya ulos” , Ulos ini berukuran besar dan megah. Secara teknis, Ulos Pinuncaan terdiri dari lima bagian yang ditenun secara terpisah dan kemudian disatukan dengan rapi. Ulos ini melambangkan kesatuan dan biasanya dipakai oleh tuan rumah pesta adat besar (hasuhuton) atau oleh raja-raja.

 

Ulos Ragidup (Ragi Hidup)

Meskipun setingkat di bawah Jugia, Ulos Ragidup sering dianggap sebagai Ulos dengan nilai tertinggi karena lebih dikenal dan kerumitannya.

  • Struktur Fisik: Ulos ini sangat sulit dibuat dan hanya dipercayakan pada penenun ahli. Ia terdiri dari lima bagian terpisah: dua ambi (sisi kiri dan kanan), satu badan ulos (tengah) yang disebut tor, dan dua kepala ulos (ujung atas dan bawah) yang disebut tinorpa. Kelima bagian ini ditenun terpisah lalu disatukan (di-ihot) dengan cermat.
  • Peruntukan: Sebagai simbol kehidupan paripurna , Ulos ini diberikan dalam upacara adat penting, terutama pernikahan. Ia sering diberikan oleh Hula-hula sebagai Ulos Passamot (kepada ibu pengantin pria) sebagai doa agar keluarga baru diberkati dengan kehidupan, kesuburan, dan panjang umur.

 

Ulos Jugia (Ulos Naso Ra Pipot)

Ini adalah Ulos dengan kasta paling tinggi, sebuah Ulos homitan (simpanan) yang sangat langka.

  • Peruntukan: Aturan pemakaiannya adalah yang paling ketat dalam seluruh tatanan adat Ulos. Ulos Jugia hanya boleh dipakai oleh seseorang yang telah mencapai status Saurmatua sempurna. Jika masih ada satu saja anaknya yang belum menikah, atau satu anak menikah namun belum memiliki keturunan, orang tersebut belum berhak memakainya.
  • Nilai: Karena beratnya aturan ini, Ulos ini menjadi sangat langka hingga banyak orang Batak tidak mengenalnya. Nilainya disamakan dengan sitoppi, perhiasan emas yang dipakai oleh istri raja.

 

Ulos sebagai Sertifikasi Kehidupan dan Refleksi Struktur Keluarga

Aturan ketat untuk Ulos Jugia membuktikan bahwa Ulos ini bukan sekadar pakaian mewah yang bisa dibeli. Ia adalah sebuah sertifikasi pencapaian tertinggi dalam hidup. Dalam budaya yang berorientasi pada hagabeon, Ulos Jugia adalah ijazah paripurna yang tidak dapat dibeli dengan hamoraon (kekayaan), melainkan harus diperoleh melalui kehidupan yang sukses secara sosial dan spiritual.

Struktur fisik Ulos kasta tertinggi ini (baik Ragidup maupun Pinuncaan) juga sarat makna. Fakta bahwa Ulos ini terdiri dari lima bagian yang ditenun terpisah lalu “disatukan” (di-ihot)  adalah metafora yang kuat. Kain ini tidak ditenun sebagai satu kesatuan, melainkan sebagai bagian-bagian (mewakili anak-anak dan keluarga baru mereka) yang kemudian disatukan menjadi satu entitas utuh yang harmonis. Kerumitan teknis menenun dan menyatukan kain ini mencerminkan kerumitan sosial dalam mengelola dan menyatukan sebuah keluarga besar hingga mencapai status Saurmatua.

 

Diferensiasi Regional: Ulos dan Wastra Serumpun Batak

Istilah “Ulos Batak” seringkali digunakan secara monolitik, padahal rumpun Batak terdiri dari berbagai sub-etnis yang memiliki tradisi wastra yang paralel namun berbeda. Penggunaan istilah “Ulos” sendiri sebagian besar merupakan hegemoni terminologi dari Batak Toba.

 

Batak Toba (Sebagai Garis Dasar)

Tradisi Batak Toba adalah yang paling dominan dalam literatur dan menjadi dasar perbandingan untuk Ulos.20 Sebagian besar jenis Ulos yang dibahas di Bagian 2 dan 3 (Ragidup, Ragi Hotang, Sibolang, Tujung) berakar kuat dari tradisi Toba.

Batak Mandailing dan Angkola

Sub-etnis Mandailing dan Angkola juga menggunakan istilah Ulos, namun dengan beberapa kekhasan jenis dan peruntukan.

  • Ulos Sadum: Meskipun dikenal di Toba, Ulos Sadum di Mandailing (dan Tapanuli Selatan) memiliki kekhasan pada motif yang kaya estetika dan warna-warna cerah. Ulos ini digunakan untuk acara perayaan, penyambutan tamu penting, dan sebagai paroppa (gendongan) untuk bayi keturunan raja.
  • Ulos Harungguan: Ulos ini khas Mandailing, berasal dari kata marunggu (berkumpul). Ulos ini disematkan kepada seseorang yang naik jabatan atau menjadi pemimpin, melambangkan doa restu atas pencapaian. Ulos ini telah berhasil diperkenalkan secara internasional.
  • Ulos Sabe-sabe: Merupakan selendang adat khusus yang dipakai saat manortor (menari tor-tor).
  • Ulos Sibolang (Pamontari): Seperti di Toba, Ulos ini dipakai untuk suka dan duka. Dalam konteks pernikahan di Mandailing, Ulos ini disebut Ulos Pamontari.

 

Batak Karo: Uis Gara

Penting untuk dicatat bahwa masyarakat Batak Karo tidak menggunakan istilah Ulos. Tradisi wastra mereka disebut Uis Gara, yang secara harfiah berarti “Kain Merah”.

  • Material dan Estetika: Meskipun sekilas terlihat mirip dengan Ulos Toba, bahannya berbeda. Sesuai namanya, Uis Gara didominasi oleh warna merah menyala, dan sering dipadukan dengan benang emas dan perak, memberikan kesan mewah dan mahal.

 

Batak Simalungun: Hiou

Masyarakat Batak Simalungun memiliki istilah lokal sendiri untuk kain tenun mereka, yaitu Hiou.

  • Pembeda Utama: Pakaian adat Simalungun secara keseluruhan hampir sama dengan Toba. Perbedaan khasnya terletak pada penggunaan kain samping pelengkap yang disebut Suri-suri. Aksesori kepala juga berbeda, di mana pria memakai Gotong dan wanita memakai Bulang.

 

Batak Pakpak: Oles

Di wilayah Pakpak, kain tenun adat dikenal dengan istilah Oles.

  • Material dan Estetika: Berbeda signifikan dari Ulos Toba yang berbahan tenun, Oles Pakpak menggunakan bahan katun. Pakaian adat mereka, Baju Merapi-api, didominasi oleh warna hitam pekat.

Eksistensi Uis Gara, Hiou, dan Oles membuktikan bahwa “Ulos Batak” adalah sebuah generalisasi yang berpusat pada Toba. Walaupun fungsi ritualnya mungkin serumpun, perbedaan terminologi, material, dan estetika sangat jelas. Pilihan estetika ini berfungsi sebagai penanda identitas sub-etnis yang kuat. Dominasi warna merah dan emas pada Uis Gara Karo memproyeksikan kemewahan , sementara dominasi warna hitam pekat pada Oles Pakpak  atau warna-warna cerah pada Ulos Sadum Mandailing  adalah pernyataan visual yang membedakan mereka satu sama lain dalam rumpun Batak yang besar.

 

Pelestarian dan Transformasi Ulos di Era Modern

Di era kontemporer, Ulos menghadapi persimpangan jalan antara pelestarian sakralitasnya dan tuntutan transformasi untuk bertahan hidup.

 

Upaya Pelestarian (Ulos sebagai Warisan Sakral)

Terdapat tantangan besar dalam melestarikan Ulos sebagai warisan budaya takbenda, terutama untuk penggunaannya dalam upacara adat. Upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah dan komunitas berfokus pada penjagaan nilai sakral ini.

Upaya ini mencakup inisiatif formal seperti penetapan Hari Ulos Nasional setiap 17 Oktober , registrasi kekayaan intelektual dan indikasi geografis , serta penyelenggaraan festival budaya. Pada tingkat akar rumput, fokusnya adalah menjaga kualitas Ulos dengan mempertahankan penggunaan pewarna alami dan mengadakan program pelatihan bagi penenun muda, untuk memastikan Ulos yang berkualitas tetap tersedia bagi kebutuhan upacara adat.

 

Transformasi Modern (Ulos sebagai Komoditas Budaya)

Secara paralel, Ulos mengalami transformasi fungsi yang radikal. Dari objek ritual yang sakral, Ulos telah menjadi komoditas budaya dalam ekonomi kreatif. Motif-motif Ulos kini diadaptasi secara luas ke dalam berbagai produk sekuler, seperti:

  • Fesyen kontemporer (gaun, jas, kemeja).
  • Suvenir dan aksesori (tas, dompet, syal).
  • Dekorasi interior (taplak meja, pajangan dinding).
  • Media digital baru, seperti NFT (Non-Fungible Token).

Contoh sukses dari transformasi ini adalah Ulos Harungguan, yang telah berhasil diperkenalkan dan mendapat pengakuan di panggung internasional.

 

 Dikotomi antara Sakralitas dan Sekularisasi

Ketegangan antara dua jalur ini mendefinisikan posisi Ulos saat ini. Di satu sisi, pelestarian Ulos untuk adat  menuntut keaslian, kepatuhan pada aturan (partuturan), dan penjagaan sakralitas (misalnya, Ulos tidak boleh menyentuh tanah). Di sisi lain, transformasi Ulos menjadi fesyen 7 menuntut inovasi, desakralisasi (misalnya, Ulos kini menjadi tas atau taplak meja), dan komodifikasi untuk pasar massal.

Pergeseran ini dapat dipahami sebagai transisi Ulos dari “Objek Ritual” menjadi “Identifier Budaya”. Sebagai Objek Ritual, nilai Ulos terletak pada aturan pemakaiannya yang ketat (siapa memberi, kapan dipakai). Sebagai Identifier Budaya, nilainya bergeser pada motif yang terlihat. Seseorang yang memakai tas bermotif Ragi Hotang mungkin tidak tahu aturan adatnya, tetapi ia secara sadar sedang “memakai identitas Batak”.

Ini menciptakan paradoks. Pelestarian ekonomi melalui fesyen  mungkin menjadi satu-satunya cara untuk mendanai pelestarian keterampilan menenun di kalangan generasi muda. Namun, permintaan pasar akan produksi cepat dan murah dapat mengancam pelestarian ritual yang menuntut kualitas dan pewarna alami. Masa depan Ulos bergantung pada kemampuan masyarakat Batak untuk menyeimbangkan dua permintaan yang saling bertentangan namun saling bergantung ini: menjaga jiwa sakralnya sambil memastikan kelangsungan hidup ekonominya.

Author: Admin Onetoba

Share:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *