Rempah Nusantara seperti pala, cengkeh, dan lada merupakan primadona pada periode rempah saat perdagangan internasional terjadi di Asia Tenggara.
“Mereka trinitas rempah termahal di dunia,” kata salah seorang perwakilan dari Museum Bank Indonesia Winarni Soewarno.
Pernyataan itu ia sampaikan dalam International Forum On Spice Route 2020 bertajuk Celebrating Diversity and Intercultural Understanding Through Spice Route as One of the World’s Common Heritage, Kamis (24/9/2020).
Baca juga:
- Gaya Umi Pipik Naik Jetski di Danau Toba Berbusana Syar’i-Pakai Cadar
- Mampu Pangkas Perjalanan Jadi 1,5 Jam, dari Medan ke Danau Toba Lewat Jalan Tol Baru Ini, Miliki Panjang 143,25 Km
- 5 Kali Isi Danau Toba Lenyap, Ilmuwan Teriak Tanda Kiamat
- Bali Disebut Tak Layak Dikunjungi Turis, Anggota DPR: Jadi Bahan Evaluasi
- Soroti Keindahan Alam Danau Toba di Aquabike Jetski World Championship 2024
Saat itu, pala yang dijual berasal dari Pulau Run, Kepulauan Banda. Sementara cengkeh dari Ternate, Tidore, Halmahera, Seram, dan Ambon.
Untuk lada, saat itu dihasilkan dari Banten, Sumatera, dan Kalimantan Selatan. Para pedagang dari China dan Arab sudah mengetahui hal ini.
“Jauh sebelum bangsa Eropa melakukan aktivitas perdagangan di Asia Tenggara, Nusantara jadi satu pemain penting dalam perdagangan dunia,” ujar Winarni.
Alat transaksi pada periode rempah
Pada periode rempah, geliat perdagangan yang terjadi mengakibatkan adanya sistem barter yang digunakan para pedagang sebelum adanya mata uang.© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi pedagang rempah.
Saat itu, Nusantara menggunakan sejumlah mata uang yang berbeda dari masing-masing daerah. Pedagang dari Bengkulu dan Pekalongan menggunakan manik-manik untuk bertransaksi.
Sementara itu, gelang digunakan oleh pedagang dari Majalengka dan Sulawesi Selatan, serta belincung atau cangkul bermata dua dari pedagang asal Bekasi.
Ada juga moko atau gendang dari Nusa Tenggara Timur dan kerang dari Papua. Ada pula uang asing yang dibawa para pedagang internasional.
Adapun, uang asing yang masuk ke Nusantara adalah uang dari pedagang China, Jepang, India, dan Persia.
“Pada rentang abad ke-9 sampai ke-13, kerajaan-kerajaan di Nusantara seperti Kediri, Aceh, juga Sulawesi sudah mempunyai uang logam dari emas,” kata Winarni.
Ia melanjutkan, Kerajaan Cirebon, Pontianak, Maluku, dan Banten memiliki uang logam dari timah dan perak.© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi koin emas.
Pada saat itu, emas merupakan alat ukur nilai yang berfungsi sebagai sarana untuk menabung dan menunjukkan status seorang raja.
Pedagang Eropa bawa mata uang paling terkenal
Rempah memiliki banyak manfaat dan merupakan salah satu komoditas yang dijadikan sebagai bahan obat di Eropa.
Itu membuatnya rempah kerap dibeli para saudagar Eropa dari para pedagang China dan Arab. Namun, mereka membelinya dengan harga yang tinggi.
Harga tersebut didasarkan pada para pedagang China dan Arab yang merahasiakan letak Nusantara untuk memonopoli pasar perdagangan rempah.
Meski begitu, lambat laun negara-negara di Eropa, seperti Portugis dan Belanda mengetahui keberadaan Nusantara.
Mengutip laman resmi Bank Indonesia, para pedagang Portugis yang datang ke Nusantara turut serta membawa Real Spanyol yang nantinya menjadi mata uang paling terkenal saat itu.© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi koin Belanda saat Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).
“Dalam tata niaga pada abad ke-18, Real Spanyol sangat digemari para pedagang, termasuk masyarakat Nusantara. Terkenal untuk transaksi internasional,” ungkap Winarni.
Seiring berjalannya waktu, Belanda yang sudah mulai membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) dan mengusir Portugis dari Nusantara mulai memunculkan lembaga keuangan.
Hal ini karena mereka memiliki kepentingan dalam perdagangan internasional. Winarni mengatakan, VOC mendirikan De Bank van Leening pada 1746 yang nantinya berubah menjadi De Bank Courant en Bank van Leening.
Kemudian pada 1828, gedung De Javasche Bank (DJB) didirikan. DJB merupakan cikal bakal Bank Indonesia. Saat ini, gedung tersebut dimanfaatkan sebagai Museum Bank Indonesia.
“Waktu itu, DJB bertindak sebagai bank sirkulasi yang juga mencetak uang untuk kalangan di Nusantara,” pungkas Winarni.
Adapun beberapa uang yang dicetak oleh VOC adalah doit, bonk, guilder, rijksdaalder, dan ropij Jawa. Uang-uang tersebut digunakan untuk menggaji karyawan, digunakan oleh penduduk setempat, dan membayar rempah-rempah.
sumber: kompas.com
Tinggalkan Balasan