Lahir di Harianboho, Danau Toba, Sumatera Utara, Sitor Situmorang terkenal dengan sajak-sajaknya yang memuji keindahan Danau Toba. Juga hal ihwal masyarakat Batak, yang disebutnya “tanah marga-marga”.
Sitor lahir pada tahun 1924 dengan perjalanan hidup tak jauh dari dunia tulis-menulis. Dia pernah bekerja sebagai wartawan hingga menjadi pemimpin redaksi Suara Nasional yang terbit di Sibolga, pada usia 19 tahun.
Dan yang tak kalah menarik, perjalanannya sebagai sastrawan angkatan 45 hingga pengembarannya di berbagai negara Eropa.
Perjalanan hidup Sitor sejak lahir hingga meninggal dunia pada 2014 di Belanda, ditampilkan dalam pameran Arsip 100 Tahun Sitor Situmorang dengan tajuk “Wajah Tak Bernama” di Galeri Pusat Dokumentasi Sastra (PDS) HB Jassin, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Pameran “Wajah Tak Bernama” berlangsung pada 3 Oktober–2 November 2024.
Dari pameran ini, pengunjung akan diajak mengenal lebih dekat sosok Sitor lewat dokumentasi berupa foto dan tulisan.
Foto-foto lama saat Sitor muda hingga tua sampai jasadnya dimakamkan di tepi Danau Toba, seperti keinginannya. Seperti dituliskan dalam sajaknya “Tatahan Pesan Bunda”:
Bila nanti ajalku tiba, kubur abuku di tanah Toba.
Di tanah danau perkasa, terbujur di samping bunda
Dalam catatan kuratorialnya, JJ Rizal menyebut Sitor hidup panjang dan lincah dalam banyak cabang kesenian.
Ini memungkinkan ia tak sekadar meninggalkan banyak karya, tetapi tumbuh kaya warna dan berevolusi dari penyair menjadi pujangga pemikir.
”Sitor tak pernah kendur. la terus bergerak dan membentuk kepengarangannya dari segala arah mata angin. Teringat cerita di tengah keluarganya bahwa sebagai anak, Sitor persis angin puting beliung. la terus berputar-putar, bermain menjelajah ke segala arah,” kata Rizal.
sumber: kompas.com
Tinggalkan Balasan