Selain pemandangan alam, pontensi pariwisata suatu daerah tak bisa dipisahkan begitu saja dari hasil kerajinan tangan yang dibuat oleh masyarakat setempat.
Sebab, pada dasarnya kerajinan tangan yang dihasilkan tersebut di samping memberikan manfaat ekonomi bagi warga, bisa pula menjadi karya seni, identitas suatu daerah, dan penunjang pelestarian budaya setempat.
Di Tanah Air, sudah banyak daerah yang sadar akan pentingnya kerajinan tangan lokal guna menarik minat wisatawan untuk berlibur #DiIndonesiaAja, sebagai contoh Yogyakarta (Jogja), Solo, dan Semarang atau sering disebut Joglosemar.
Saat berkunjung ke ketiga daerah tersebut, terdapat ragam kerajinan tangan unik nan menarik yang bisa dijadikan buah tangan. Sebut saja kerajinan gerabah Desa Kasongan di Jogja, barang antik khas Solo, dan kerajinan eceng gondok asli Semarang. Untuk pembahasan lebih lengkap, simak ulasan berikut.© Disediakan oleh Kompas.com Pengrajin gerabah di Desa Kasongan, Bantul, Yogyakarta.
1. Kerajinan gerabah Desa Kasongan di Jogja
Wisata Yogyakarta memang menawarkan pesona tersendiri bagi wisatawan. Mulai dari pemandangan alamnya yang menakjubkan sampai kerajinan tangan warga lokal yang memukau.
Untuk memaksimalkan potensi tersebut, desa wisata atau kampung seni didirikan. Keberadaan desa-desa wisata ini selain untuk memikat wisatawan juga berfungsi untuk memberdayakan masyarakat di sekitar obyek wisata sehingga perekonomiannya turut terangkat.
Salah satu desa wisata yang kerap menarik perhatian adalah Desa Kasongan yang berada di Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.
Desa ini terkenal berkat kerajinan tangan gerabah. Saking melekatnya dengan kerajinan dari tanah liat itu, Desa Kasongan kerap disebut sebagai desa sejuta gerabah.
Penyebutan tersebut bukan tanpa alasan. Di sepanjang Jalan Kasongan, banyak berdiri showroom atau galeri seni yang memamerkan beragam gerabah. Gerabah dari Kasongan bahkan tersohor hingga Asia Tenggara, Amerika Serikat, dan Eropa.
Hasil kerajinan Desa Kasongan bisa sebegitu terkenal berkat tangan dingin seniman Saptohoedoyo. Pada 1970-an, Sapto membantu masyarakat desa agar bisa membuat gerabah dengan bentuk yang lebih “nyeni” untuk meningkatkan nilai jualnya.
Perlahan, pengrajin yang tadinya membuat gerabah sederhana, seperti perabot dapur, pot bunga, dan celengan, mulai memproduksi gerabah unik. Salah satu yang paling khas adalah patung loro blonyo.
Patung pasangan pengantin Jawa ini memiliki beragam bentuk atau model, mulai dari realis hingga karikatural. Pose patung tersebut juga banyak, dari duduk bersila hingga berdiri.
Lantaran khas dan unik, patung tersebut menjadi oleh-oleh wajib yang harus dibawa pulang wisatawan saat berkunjung ke Kasongan.
Selain patung loro blonyo, wisatawan bisa menemukan berbagai bentuk gerabah. Mulai dari keramik kontemporer hingga guci dengan berbagai corak.
Menariknya, wisatawan yang berkunjung juga bisa belajar bagaimana cara mengolah tanah liat menjadi sebuah perabot. Harga yang dipatok pun tidak mahal, sekitar Rp 50.000. Nantinya, hasil kerajinan yang sudah jadi itu bisa pula dibawa pulang.© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi membuat batik tulis.
2. Batik dan kain lurik khas Solo
Setelah puas menikmati keindahan alam dan memborong oleh-oleh kerajinan gerabah di Jogja, kini saatnya Anda menikmati pesona wisata Solo.
Sebagai informasi, Jogja dan Solo hanya terpaut jarak sekitar 60 kilometer (km) dengan waktu tempuh lebih kurang satu jam perjalanan darat. Tinggal pilih saja, lebih nyaman mengendarai kendaraan bermotor atau naik kereta api (KA) Prambanan Ekspres.
Setelah sampai di Solo, Anda bisa langsung menuju ke pusat batik di Kampung Batik Kauman. Kampung ini merupakan rumah lebih dari 30 industri kain batik. Ada tiga jenis batik di Kauman yang bisa Anda beli, yakni batik tulis, batik cap, serta kombinasi antara batik tulis dan batik cap.
Kemudian, Solo juga mempunyai tujuh motif paling populer, di antaranya motif batik Parang, Kawung, Sawat, Sidomukti, Truntum, Satrio Manah, dan Semen Rante.
Setelah puas berbelanja batik, Anda juga bisa membeli lurik. Lurik merupakan kain dengan motif garis-garis kecil. Sama seperti batik, kain lurik juga memiliki ragam corak berdasarkan kerapatan, warna, dan jumlah garis-garisnya.
Tiap corak memiliki makna berbeda-berbeda. Misalnya lurik motif Telupat. Kata “telupat” berasal dari bahasa Jawa, telu (tiga) dan papat (empat).
Kain lurik ini memiliki motif lajuran berjumlah tujuh. Seperti diketahui, angka tujuh di budaya Jawa merupakan angka keramat yang melambangkan kehidupan dan kemakmuran. Makna itu pula yang tersemat di lurik motif Telupat.
Ada pula motif lurik Udan Liris. Secara harfiah, udan liris berarti hujan gerimis. Kain lurik jenis ini mempunyai makna mendatangkan kesuburan atau perlambang kesejahteraan.
Masih ada motif lurik Sapit Urang atau sapit udang. Lurik motif ini punya makna simbolis yakni siasat berperang. Dahulu, lurik Sapit Urang dipakai oleh prajurit keraton.
Seiring perkembangan zaman, lurik tidak hanya dibuat dalam bentuk pakaian. Lewat tangan-tangan kreatif pengrajin, kain lurik dibuat dalam ragam jenis lainnya, seperti syal, sarung, celana, bahkan tas.
Untuk membeli lurik di Solo, Anda bisa mengunjungi Pasar Klewer, Pusat Grosir Solo, dan Beteng Trade Center (BTC).© Disediakan oleh Kompas.com Ilustrasi kerajinan eceng gondok khas Semarang.
3. Kerajinan eceng gondok asli Semarang
Selain Jogja dan Solo, Semarang juga tak mau ketinggalan dalam menghasilkan kerajinan tangan unik guna menarik wisatawan berkunjung. Kerajinan eceng gondok, misalnya, bisa menjadi buah tangan anti-mainstream yang bisa Anda bawa pulang saat berkunjung ke Kabupaten Semarang.
Sebagai informasi, eceng gondok merupakan salah satu jenis tumbuhan air mengapung yang biasa hidup di danau atau sungai berarus kecil. Di Kabupaten Semarang, ada sebuah daerah yang cukup terkenal dengan eceng gondok, yaitu Danau Rawa Pening.
Danau yang tersohor lewat legenda Baru Klinting ini juga dikenal sebagai salah satu destinasi wisata Semarang alam nan indah. Keindahan ini berkat lanskap danau seluas 2.670 hektare yang dikelilingi tiga gunung, yakni Gunung Merbabu, Gunung Teloyomo, dan Gunung Ungaran.
Karena luas pula, air danau ini banyak ditumbuhi eceng gondok. Tanaman ini awalnya menjadi gulma dan mengganggu aktivitas nelayan setempat yang menggantungkan hidup dari mencari atau menambak ikan tawar di Rawa Pening.
Lambat laun, tanaman gulma dimanfaatkan warga setempat sebagai bahan kerajinan tangan. Mereka membuat berbagai kreasi unik, seperti pajangan dengan ragam bentuk, tas, sandal, tempat tisu, dan kursi.
Melansir TribunJateng.com, Kamis (24/10/2019), kerajinan eceng gondok tersebut bisa dibeli mulai harga Rp 15.000 hingga jutaan rupiah, tergantung kesulitan pembuatan.
Satu tips lagi, jangan lupa untuk selalu menerapkan protokol kesehatan di destinasi pariwisata sesuai standar Cleanliness, Health, Safety, dan Environmental Sustainability (CHSE) saat Anda melakukan perjalanan pascapandemi, ya.
Caranya, selalu gunakan masker dan rutin mencuci tangan, menjaga jarak, serta menjaga kebersihan lingkungan sekitar saat mengunjungi destinasi wisata di Joglosemar.
sumber: kompas.com
Tinggalkan Balasan