Kota Palembang merupakan ibukota Sumatera Selatan sekaligus kota terbesar kedua di Sumatera setelah Medan. Palembang merayakan hari jadinya setiap tanggal 17 Juni. Hal itu berdasarkan Perda No.5/Perd/Huk/1976 yang menetapkan Palembang awal berdirinya pada 17 Juni 683. Terhitung hari ini Palembang genap berusia 1339 tahun.
Kota Palembang Sejak Zaman Sriwijaya
Dilansir dari Palembang.go.id, berdasarkan prasasti Sriwijaya bernama prasasti Kedudukan Bukit, penguasa Sriwijaya kala itu mendirikan Wanua di daerah yang sekarang dikenal sebagai kota Palembang.
Menurut topografinya, kota ini dikelilingi oleh air, bahkan terendam air. Air tersebut bersumber dari sungai, rawa, maupun air hujan. Hingga saat ini pun masih terdapat 52,24 persen tanah Palembang yang tergenang oleh air.
Oleh karena kondisi inilah nenek moyang memberikan nama kota ini Palembang yang dalam bahasa melayu ‘Pa’ atau ‘Pe’ sebagai kata tunjuk suatu tempat, sedangkan menurut bahasa Melayu-Palembang, lembang atau lembeng artinya adalah genangan air. Jadi Palembang adalah suatu tempat yang digenangi oleh air.
Kondisi alam seperti ini menjadi modal bagi nenek moyang orang Palembang dan memanfaatkannya untuk berbagai sektor. Air menjadi sarana transportasi yang vital, ekonomis, efisien dan punya daya jangkau serta punya kecepatan yang tinggi.
Selain kondisi alam, letak strategis kota ini juga strategis sebab berada dalam satu jaringan yang mampu mengendalikan lalu lintas antara tiga kesatuan wilayah, yaitu wilayah tinggi Sumatera bagian Barat dengan Pegunungan Bukit Barisan, daerah kaki bukit atau piedmont yang menjadi pertemuan anak-anak sungai sewaktu memasuki dataran rendah dan daerah pesisir timur laut.
Faktor inilah yang membuat Palembang menjadi ibukota Sriwijaya kala itu, yang menjadi kekuatan politik dan ekonomi di zaman klasik pada wilayah Asia Tenggara. Kejayaan Sriwijaya diambil oleh Kesultanan Palembang Darusallam pada zaman madya sebagai kesultanan yang disegani di kawasan Nusantara.
Pada kronik Cina Chu-Fan-Chi yang ditulis oleh Chau Ju-Kua pada abad ke 14 menceritakan tentang Sriwijaya.
“Negara ini terletak di Laut selatan, menguasai lalu lintas perdagangan asing di Selat. Pada zaman dahulu pelabuhannya menggunakan rantai besi untuk menahan bajak-bajak laut yang bermaksud jahat. Jika ada perahu-perahu asing datang, rantai itu diturunkan. Setelah keadaan aman kembali, rantai itu disingkirkan. Perahu-perahu yang lewat tanpa singgah di pelabuhan dikepung oleh perahu-perahu milik kerajaan dan diserang. Semua awak-awak perahu tersebut berani mati. Itulah sebabnya maka negara itu menjadi pusat pelayaran.”
Pelaut Arab dan Parsi menggambarkan Palembang sebagai kota yang sangat besar. Dikatakannya jika memasuki kota tersebut, kokok ayam jantan tidak berhenti bersahut-sahutan. Dalam hal ini artinya kokok sang ayam mengikuti terbitnya matahari.
Pelaut-pelaut Cina mencatat kehiduapan penduduk kota Palembang yang hidup di atas rakit-rakit tanpa dipungut pajak. Sedangkan pemimpinnya tinggal di rumah bertiang di atas tanah kering.
sumber: tempo.co
Tinggalkan Balasan