Berburu Ikan yang “Sedang Mudik” di Tao Silalahi

21 Aug 2023 5 min read No comments Alam
Featured image

Menghabiskan cuti bersama Idul Fiti, saya dan keluarga menikmati panorama alam dan berburu ikan ke Tao Silalahi (Danau Silalahi, dalam bahasa Batak) di Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara. Ini sudut lain Danau Toba yang luas dan terkenal itu. Menumpangi dua sepeda motor, kami mengambil jalur Tongkoh, Merek, Sipiso-piso dan Tongging. Kami menghindari Kota Berastagi dan Kabanjahe karena sudah dapat dipastikan akan terjebak dalam kemacetan panjang. Apalagi selama perjalanan hujan terus mengguyur.

Dari Simpang Tugu Jeruk, kami belok ke kiri, menyusuri Desa Tongkoh, Kecamatan Dolat Rakyat, Kabupaten Karo. Jalannya sudah beraspal dan bagus, walau lebarnya hanya cukup untuk dua mobil. Sekitar 5 menit melaju, di sebelah kiri jalan akan terlihat puncak pagoda berwarna emas. Itulah Taman Wisata Rohani Lumbini, puncak menjulang itu adalah Replika Pagoda Shwedagon. Replika tertinggi kedua setelah Burma. Untuk Indonesia, pagoda ini juaranya.

Setelah tak terlihat lagi simbol kebesaran umat Buddha tersebut, mata akan disuguhi perkebunan jeruk, kopi, sayur, buah dan bunga milik masyarakat desa ini. Selepas hujan, semuanya terlihat hijau, menyegarkan dan cantik. Selama 30 menit perjalanan, jalanan mulai naik turun. Sawah dengan padi siap panen mulai menghiasi tepi-tepi jalan. Terus saja mengikuti aspal hitam hingga jalan besar sampai melewati Simpang Merek dan Sipiso-piso.

 

Surganya para pemburu ikan di Danau Silalahi, Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi, Sumatra Utara

 

Bukit tunggal Sipiso-piso berdiri menandang mengiringi perjalanan di sebelah kiri. Saatnya memasuki jalan menurun yang lumayan curam menuju Tongging. Dari ketinggian, hijaunya Danau Toba sudah terlihat. Di balik-balik bukit, sesekali Air Terjun Sipiso-piso terlihat. Jejeran bukit-bukit seperti bewarna oranye sebab rumput-rumput yang mengering ditimpa matahari sangat menakjubkan. Pinus-pinus tumbuh seenaknya di punggung-punggung bukit menambah indah warna alam.

Tiba di Desa Tongging, Kabupaten Karo, sawah-sawah menghijau menyambut riang. Susuri saja jalan desa yang menyempit dan berbatu, itu jalan menuju Silalahisabungan. Kembali di kiri jalan, kita akan melewati Pulau Paropo. Satu pulau kecil dan sendiri yang berada di Danau Toba. Ceritanya ini sebuah kampung. Satu waktu, saya akan menuliskan juga soal pulau unik ini.

Sesekali kita akan mendapati jalan beraspal yang mulus, tapi sering kali jalan berbatu dan berlubang penuh abu. Kalau hujan lebat, pasti ini akan menjadi kubangan dan membuat motor-motor pada mogok. Sebelah kanan adalah punggung-punggung bukit dan persawahan, sebelah kiri Dana Toba. Jalanan kecil dan sempit, berliku dan naik turun.

Bagi yang baru datang ke daerah ini, lebih baik tak terlalu laju membawa kendaraan. Sebab jika tak hati-hati, tikungan yang tajam membuat kita tidak melihat kendaraan di depan. Kalau tiba-tiba rem mendadak, bisa terpental jatuh langsung ke danau. Tak ada pembatas jalan atau tanda-tanda lalu lintas, satu lagi, tak ada bengkel dan tempel ban.

 

Tao Silalahi atau Danau Silalahi di Kecamatan Silahisabungan, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara

 

Dari Desa Tongging, perjalanan menuju Silalahisabungan ditempuh sekitar satu jam perjalanan. Gelap baru saja turun, sebuah areal bekas dermaga kapal kami jadikan lokasi bertenda. Malamnya, sambil menikmati taburan bintang, mie instan dan kopi hangat, kami memancing. Rupanya di sini merupakan salah satu lokasi memancing yang banyak didatangi orang. Umpannya bisa pelet, roti, cacing, tapi kebanyakan menggunakan lumut dari danau.

Sayang, malam ini kami kurang beruntung. Tak satu pun ikan tersangkut mata kail. Kami tidur lebih cepat, mungkin kelelahan karena hampir 7 jam menempuh perjalanan. Sekitar pukul 22.00 WIB, hujan kembali membasahi bumi. Kami terbangun dengan suara Vesva dan canda tawa yang riuh. Rupanya serombongan anak muda menempuh perjalanan tengah malam dan tiba subuh di Silalahi.

Mereka berdiri dan tidur-tiduran di bekas dermaga sambil memandang danau yang masih berselimut kabut. “Gila, ini jam enam kurang. Masih sangat pagi. Tapi sudah ramai. Tak kedinginan orang itu,” kata Ebil sambil melanjutkan tidurnya.

Tapi rupanya dia penasaran lalu membuka pintu tenda dan melihat danau di pelupuk matanya. “Subhanallah, cantiknya… Kabut lagi. Tengok itu, sudah ada yang mencari ikan dengan perahu sepagi ini. Wuih, mari kita memancing lagi,” katanya sambil keluar dari tenda.

Makin naik matahari, makin ramai yang datang. Kebetulan hari ini bertepatan dengan hari Minggu. Bahkan turis-turis lokal dan luar kota seperti Jakarta dan Pekan Baru banyak sudah menginap beberapa hari di penginapan-penginapan yang berjejer sepanjang danau. Ternyata, selain liburan, pulang kampung, menikmati danau, mereka juga berburu ikan. Keramaian semakin menjadi karena satu, dua, puluhan pedagang mangga, bawang merah, durian, gorengan dan mie sop dadakan menambah sempit tepi jalan sepanjang danau.

Kami yang membutuhkan ketenangan merasa terusik. Tengah hari, kami menuju ujung danau, mencari tempat aman dari suara-suara yang biasa di dengar di kota. Dan tempat bagus buat memancing. Satu harian kami habiskan waktu dengan umpan dan kail, tapi ikan sepertinya sedang mudik. Kami kembali tak beruntung.

Marga Silalahi yang membawa selusin pancing berharga mahal, petang pulang dengan tangan hampa. “Tak ada ikannya, capek aku. Mudik kali ikannya,” katanya sambil tertawa. Marga Silalahi yang lain juga mengeluh sama, padahal dia menggunakan jala. “Tak ada ikan, entah ke mana semua. Kecil-kecil, inipun cuma berapa ekor,” ucapnya sambil menunjukkan hasil tangkapannya.

Lelah memancing tiada hasil, kami akhirnya memesan satu kilogram ikan mujahir seharga Rp 60.000. Ikannya dibakar dan dimasak ala Batak, Natinombur namanya. Aroma dan rasa andaliman, rias, kemiri, menyatu dalam pulennya nasi putih serta lalapan. Minumnya teh manis dingin saja.

Sambil memandang ombak kecil Danau Toba, makanan ludes tak bersisa, walau saya merasakan pedas berkepanjangan di ujung lidah. “Semua Rp 120 ribu,” kata pemilik warung. Wuih, lima porsi nasi, ikan dan minuman cuma seharga itu.

Bagi saya ini sangat murah untuk ukuran lokasi wisata. Malam kedua, kami memilih menginap di penginapan yang tinggal pilih saja. Lagi-lagi kami tercengang, satu kamar dengan ekstra bed dan kamar mandi di dalam dihargai Rp 150.000. Fasilitas lebih di atas ini juga dibanderol sekitar Rp 200.000 hingga Rp 250.000. Untuk petualang dan para kaum backpacker, harga ini bisa membuat mereka betah berlama-lama di sini. Hitung saja jika Anda nge-camp? Pastinya tabungan setahun hanya terkuras secuil, heheheee…

Pulang ke Medan, kami membawa oleh-oleh bawang merah dan mangga. Semuanya khas dari Silalahi. Satu kilogram bawang dan mangga dihargai Rp 20 ribuan, tergantung kelihaian kita menawar dan merayu pedagangnya.

Kembali melewati jalur saat datang kemarin, di Desa Tongkoh kami singgah sebentar ke kebun Sitepu. Kami memetik sendiri jeruk dari pohonnya, setiap kilogram dihargai Rp 15.000. “Petiknya diputar dulu dari tangkainya, biar tak rusak buahnya,” kata Sitepu.

Dia bilang, orang lebih suka memetik sendiri ketimbang beli yang dijajakan karena ingin merasakan sensasinya. “Ini yang buat harganya lebih mahal dari pasar. Kalau di pasar, sekilo cuma Rp 10 ribu,” katanya.

 

sumber; https://nationalgeographic.grid.id/

Author: 1toba

Share:

Tinggalkan Balasan