Pada masa lalu, batik yang digunakan orang biasa dan keluarga kerajaan atau keraton punya motif yang berbeda.
Jadi, batik yang dipakai oleh keluarga keraton itu tidak boleh dipakai orang biasa karena berhubungan dengan sejumlah aturan tertentu di keraton.
“Ketika keraton Mataram dibagi menjadi dua, yaitu Keraton Surakarta da nKeraton Yogyakarta melalui perjanjian Giyanti 1755, maka seluruh busana diboyong ke Keraton Yogyakarta,” kata Dosen Batik Universitas Sebelas Maret (UNS) Tiwi Bina Affanti kepada Kompas.com (21/5/2022).
Sejak terpisah, kemudian SISKS Pakubuwana II membuat busana sendiri dengan gagrak Surakarta atau gaya Surakarta, termasuk di dalamnya kain Batik.
Sejak disesuaikannya dengan model busana yang baru, batik Surakarta mulai berkembang corak-coraknya atau motifnya. Aneka macam corak baru batik Surakarta itu kemudian disebut dengan batik gagrak Surakarta.
Sayangnya perkembanagn corak batik Surakarta yang cuklup pesat saat itu justru menurunkan kandungan nilai budaya batik.
Batik yang khusus untuk bangsawan keraton
Tatanan dalam penggunaan kain batik menjadi kabur. Kain batik yang diperuntukkan bagi bangsawan dan untuk kawula menjadi tidak jelas, sehingga sulit untuk membedakan status para pemakainya.
“Oleh karena itu, kemudian Pakubuwana III membuat suatu tatanan pemakaian kain batik yang ada di Nagari Surakarta,” ujar Tiwi.
Ia mleanjutkan, ada beberapa jenis kain batik yang menjadi larangan, yaitu batik lar, batik parang, batik cemukiran yang berujung seperti paruh podang, batik bangun tulak, batik lengo teleng.
Tiwi menyebutkan bahwa batik cemukiran yang berbentuk ujung lung atau daun tumbuhan yang menjalar di tanah yang diijinkan memakai adalah para patih dan kerabat keraton, sedangkan para kawula tidak diperkenankan.
Kemudian, dari peraturan tersebut batik gaya Surakarta mulai menjadi sebuah tatanan di dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Batik dalam ritual-ritual tertentu
Kain batik bagi masyarakat Jawa, khususnya Jawa Tengah yang masih sering mengenakannya, menjadi tuntunan dalam penerapannya pada acara ritual-ritual tertentu, di antaranya adalah ritual daur Hidup manusia.
Daur Hidup manusia di Jawa, selalu diperingati dengan upacara-upacara tertentu yang seringkali harus dilengkapi dengan sarana-sarana tertentu, misalnya musik, tarian hingga makanan yang dalam ritualnya memakai batik adalah sebuah kewajiban.
“Perlu diketahui bahwa daur hidup manusia yang seringkali diperingati mencakup kelahirannya, ketika anak mulai menyentuh tanah, akil balik, lamaran, upacara ijab kabul, upacara panggih, termasuk yang terakhir adalah upacara kematian,” kata Tiwi.
Pada setiap acara tersebut, para pelakunya mengenakan kain batik dengan corak tertentu dengan harapan mulya bagi kehidupan mereka kelak.
Corak-corak tersebut memiliki makna yang berbeda pada setiap acara ritual, yang diselaraskan dengan maksud ritual tersebut.
Karenanya dalam mengenakan kain batik harus disesuaikan dengan acara ritual yang sedang ditempuhnya agar harapan yang diusung bisa menjadi kenyataan demi kemuliaan kehidupannya.
Batik yang hanya boleh dipakai bangsawan Keraton Yogyakarta
Sementara itu, di Keraton Yogykarta ada sejumlah motif batik yang dilarang, biasanya disebut dengan “Awisan Dalem, dikutip dari laman Keraton Jogja.
Selain adanya peraturan keraton, sejumlah motif batik yang tak boleh dipakai orang biasa itu dipercaya menyimpan kekuatan spiritual ataupun punya makna filsafat yang mendalam.
Sehingga motif batik pilihan tersebut dipercaya bisa membuat suasana religious dan juga memancarkan aura magis sesuai filosofi yang dikandungnya.
Keraton Yogyakarta diketahui punya batik larangan dengan motif parang rusak barong, parang rusak gendreh, parang klithik, semen gedhe sawat gurdha, semen gedhe sawat lar, udan liris, rujak senthe, parang-parangan, cemukiran, kawung, dan huk.
Misalnya saja motif parang rusak, adalah batik pertama yang masuk ke dalam daftar larangan atas keinginan Sri Sultan Hamengku Buwono I di tahun 1785.
Kemudian, motif lainnya yang dilarang atas perintah raja yakni Sri Sultan Hamengku Buwono VII ada motif huk dan kawung.
sumber: kompas.com
Tinggalkan Balasan