Tradisi bertenun ulos di Tanah Batak merupakan tradisi yang sudah berlangsung selama ribuan tahun di seluruh kawasan Danau Toba dan memiliki hubungan yang kuat dengan tradisi tenun ikat di berbagai belahan nusantara. Namun, seiring perkembangan zaman, tradisi bertenun ulos ini secara terus-menerus tergerus oleh tuntutan pasar. Perlu upaya serius agar tradisi ini tidak hilang dan punah.
Menurut kisah lokal, dahulu kala, seorang Ibu (orang tua) haruslah dengan penuh hormat dan kerendahan hati meminta seorang penenun di kampungnya untuk membuatkan satu helai ulos, yang nantinya akan diberikan kepada anak perempuannya yang akan menikah. Berbekal napuran (sirih dengan kapur, lambang permintaan tolong seseorang kepada yang lain), sang Ibu haruslah dengan kata-kata yang santun serta mangelek (membujuk) datang ke hadapan sang penenun. Hanya bila hati sang penenun bahagia, dan karena dia melihat kesungguhan hati sang Ibu, dia akan menyanggupi permintaan tersebut untuk membuatkan sehelai ulos buat Sang Ibu.
Kisah tersebut menunjukkan bahwa tradisi bertenun ulosmerupakan sesuatu yang sakral. Hal itu terkait dengan mitologi masyarakat Batak yang berkisah tentang penenun pertama, Si Boru Deak Parujar, adalah seorang Dewi yang diturunkan dari Gunung Pusuk Buhit, tempat nenek moyang orang Batak diturunkan dari langit. Para penenun ulos pada dasarnya adalah pelanjut keterampilan mulia, kalau bukan dianggap sebagai titisan Sang Dewi dari Langit itu sendiri.
Namun, seiring perkembangan zaman, dimensi sakral tradisi bertenun ulos semakin lama semakin tergerus oleh tuntutan pasar dan supply chain perekonomian. Tradisi bertenun ini malahan kini hampir punah, bahkan sebagian peneliti mengatakan sudah punah (Sandra Niessen, Legacy In Cloth; Batak Textiles Of Indonesia, 2017).
Kepunahan itu antara lain ditandai oleh langkanya beberapa gatip (motif) tenun lama, karena tidak lagi direproduksi oleh para penenun masa kini. Bersama kelangkaan gatip itu, terancam pula hilangnya kemampuan dan keterampilan tradisional tenun ulos. Padahal, setiap motif tenun Batak memiliki nilai adat yang unik serta tak tergantikan.
Penggunaan ulos pun kini bukan lagi menjadi atribut yang melekat erat dengan hampir semua segi kehidupan suku Batak di seluruh dunia. ulos, yang memiliki nilai simbolis dalam berbagai ritus yang mengisi keseharian masyarakat Batak, sekaligus menjadi simbol kasih sayang, kehangatan, perlindungan, dan penghormatan dalam upacara adat dan life cycle manusia Batak, dewasa ini telah menjadi sekadar komoditas ekonomi.
Pada saat yang sama, posisi penenun ulos mengalami degradasi, bukan lagi sebagai seorang seniman, bukan pula sebagai pengrajin, namun sebagai buruh tekstil. Para penenun ulos kini tidak lagi bertenun atas dasar kecintaannya kepada tradisi budaya dan dengan motif kreativitas, namun semata-mata karena motif ekonomi: bertenun demi melanjutkan hidup.
Festival Tenun Nusantara 2018
Festival Tenun Nusantara2018 bukan hanya suatu perayaan budaya ulos. Festival ini juga suatu upaya untuk mengembalikan aspek simbolik dan sakral dari ulos dalam ritus hidup orang Batak di seluruh dunia melalui penggalian nilai budaya serta upaya redukasi dan sosialisasi. Juga upaya untuk membangun kapasitas penenun, baik secara pribadi maupun sebagai suatu komunitas, untuk menciptakan ekosistem tenun mereka sendiri, demi memutus kebergantungan mereka akan para toke/tengkulak.
Festival Tenun Nusantara2018 adalah penegasan untuk pembangunan ekosistem tersebut, dengan mengangkat nilai-nilai kearifan lokal yang tersimpan di balik tradisi bertenun ulos. Festival ini mengambil fokus pada prosesi “meminta dengan hormat untuk menenunkan ulos”.
Selain masyarakat Batak dan publik umum, festival ini juga menyasar pada orang Batak di seluruh penjuru dunia. Selama bertahun-tahun, orang Batak telah berdiaspora ke berbagai belahan dunia dan mereka ini adalah sumber daya yang sangat potensial untuk menjadi apresiator dan konsumen tenun Batak di kampung-kampung nenek moyang mereka, di kawasan Danau Toba. Jika komunitas diaspora ini dapat dihubungkan dengan baik kepada komunitas penenun ulos, maka mereka akan menjadi pasar abadi, di mana mereka akan kembali menggunakan ulos dalam ritus hidup mereka di manapun berada.
Itu artinya, mereka akan membeli ulos-ulos tersebut secara langsung kepada para Penenun Ulos di kampung, dan melanjutkan dengan mekanisme masakini, tradisi ‘permohonan’ untuk dibuatkan Ulos, serta memberi harga yang pantas, sesuai dengan penghargaan mereka atas nilai budaya sendiri.
Rangkaian Festival Tenun Nusantara 2018 berlangsung selama empat hari, dari tanggal 16 hingga 20 Oktober 2018. Kegiatan dibuka dengan International Ulos Symposium: “A Tribute to Ulos Weaving Tradition,” yang akan berlangsung di Hutaginjang, Tapanuli Utara. Acara ini dibuat sebagai sarana edukasi dan sosialisasi tradisi ulos yang agung kepada berbagai kalangan, khususnya orang Batak di manapun, dan kebutuhan akan endorsemen (pengakuan dan rekomendasi) dari para kurator tenun dunia, yakni para pecinta, pengamat, serta pegiat tenun internasional.
Momentum ini sekaligus dipakai untuk mengukuhkan tradisi Ulos sebagai sebuah warisan budaya tak benda yang unik melalui kajian atas rumitnya motif/gatip, yang membutuhkan keterampilan dan dedikasi tinggi dalam pengerjaannya.
Acara dilanjutkan dengan Pesta Budaya Rakyat di Tarutung, Tapanuli Utara, diawali dengan Pertunjukan Opera Batak bertajuk “Ahu Partonun,” yang medramatisasikan kembali hikayat Ulos sebagai barang pusaka, manifestasi doa, serta identitas budaya Batak.
Acara intinya adalah gelaran Booth Camp Partonun Danau Toba with Weaving Demo & Competition: “Finding The Best Specialists of Ulos Weaving Tradition in Lake Toba” pada 18-19 Oktober 2018. Kegiatan inimenunjukkan kepada publik dalam tradisi menenun ulos terdapat demikian banyak keterampilan khusus yang dibutuhkan. Masing-masing keahlian ini harusnya terus direproduksi untuk menciptakan suatu sistem penciptaan tenunan ulos, mulai dari bahan dasar kapas sampai menjadi ulos yang siap dipakai.
Rangkaian kegiatan Festival Tenun Nusantara 2018 selanjutnya adalah Sehari Bersama Ulos, Pesta Kuliner, dan Pesta Karya Budaya Rakyat di Samosir: “My Life, My Ulos”. Sehari Bersama Ulos, menampilkan suguhan sports-tourism di Samosir dengan corak ulos sebagai aksesori dan seragamnya.
Lomba perahu naga di Danau Toba yang dihelat di Samosir dikedepankan untuk dijadikan sebagai media penggunaan ulos. Momentum ini juga melibatkan warga masyarakat di Pangururan, Samosir, untuk selama sehari penuh menggunakan ulos dalam setiap aktivitasnya.
Dengan seluruh rangkaian kegiatan Festival Tenun Nusantara 2018, yang bergabung dengan platform Indonesiana, bermaksud membuka mata dunia akan nilai tenun ulos, baik secara budaya, maupun di dunia tekstil dan fashion. Melalui terjalinnya sinergi antar stakeholderdiharapkan berbagai sub-sistem yang berperan dalam ekosistem tenun ulos, dapat terhubung satu sama lain, untuk membangun ekosistem tenun ulos masakini. Ekosistem dimaksud, ditandai dengan tersedianya bahan mentah, bahan baku, sistem produksi dan sistem pemasaran yang organik, yang berpihak kepada para penenun Ulos di masa depan.(DNS)
Sumber: https://kemdikbud.go.id/
Tinggalkan Balasan