Candi Borobudur adalah salah satu bangunan bersejarah di Indonesia, merupakan satu keajaiban dunia.
Tapi, ternyata Candi ini juga banyak menyimpan cerita misterinya sendiri.
Salah satu teman akan berbagi kisah aneh yang dia alami di Borobudur, simak di sini, di Briistory..
***
Aku Jibran, pekerja swasta yang tinggal di Jakarta.
Kali ini aku akan menceritakan pengalaman aneh yang aku alami ketika sedang berwisata dengan teman kampus sewaktu kuliah dulu.© Disediakan oleh Kumparan
Peristiwa ini terjadi tahun 2005, waktu itu aku masih mahasiswa tingkat dua di salah satu universitas di Palembang.
Ketika itu kampus mengadakan acara wisata ke Jawa Tengah, tentu saja Candi Borobudur menjadi salah satu destinasinya.
Saat itu aku sama sekali belum pernah mengunjungi Candi Borobudur, tentu saja jadi sangat gembira karena akhirnya berkesempatan untuk mengunjungi candi yang jadi salah satu tujuh keajaiban dunia itu.
Singkat cerita akhirnya kami berangkat wisata ke Jawa Tengah, dengan menggunakan bis.
Candi Borobudur menjadi tujuan pertama yang akan dikunjungi.
***
Aku lupa waktu itu hari apa, yang pasti bukan akhir pekan, sekitar jam tiga sore, akhirnya kami sampai di tujuan.
Waaaahh senangnya hati ini, keinginanku yang sejak dulu ada akhirnya tercapai juga, sampai juga di Borobudur.
Candi megah berdiri menjulang, sudah terlihat puncaknya dari tempat parkir di mana kami masih berada. Sama denganku, wajah ceria teman-teman menjelaskan betapa semangat dan gembiranya mereka ketika akhirnya sampai juga di Borobudur.
Padahal masih di lapangan parkir tetapi sudah banyak terlihat pedagang-pedagang souvenir menjajakan barang dagangan bermacam bentuknya, baru melihat itu semua saja aku sudah merasakan suasana menyenangkan.
Sambil menunggu panitia membeli tiket, kami duduk di area parkir, bersenda gurau, bermacam tingkah polah dalam mengisi kekosongan, segala lelah yang dirasakan ketika masih dalam kendaraan sebelumnya hilang berganti keceriaan.
Aku, hanya sesekali ikut dalam perbincangan seru, lebih banyak menikmati pemandangan dan suasana sekitar.
Langit cerah terang nyaris gak ada awan, matahari masih bersinar walau sudah gak terlalu menyengat panasnya.
Semilir angin bertiup membelai tubuh serta wajah, memanjakan pikiran, menghempas resah dan lelah, gak habis senyumku merasakan semuanya.
Entah dari mana sumbernya, sayup-sayup kedengaran juga musik gamelan jawa melantunkan irama khas-nya, lagi-lagi aku menyukainya.
Kalau diperhatikan, pengunjung candi borobudur hari itu gak terlalu ramai, mungkin karena bukan akhir pekan atau juga libur panjang, hanya ada beberapa rombongan wisatawan lokal yang bergerombol, terselip juga turis mancanegara di beberapa sudut.
Tapi walaupun begitu gak juga bisa dibilang sepi, suasana tempat wisata masih sangat terasa.
Di tengah asyiknya menikmati semua, perhatianku sedikit teralihkan ke beberapa orang yang terlihat di kejauhan. Beberapa orang ini awalnya muncul satu per satu, gak berbarengan, tapi lama-kelamaan jadi beberapa, cukup banyak jumlahnya, nyaris semuanya laki-laki.
Kenapa aku tertarik memperhatikan mereka? dari cara berpakaiannya, mereka semuanya mengenakan pakaian khas jawa lengkap dengan blangkon di kepala, ada yang mengenakan baju khas yang biasanya aku hanya melihat di pengantin Jawa.
Tapi, orang-orang yang berpakaian baju jawa hanya sedikit, hanya beberapa saja. Dari semua, yang paling banyak terlihat adalah orang-orang yang hanya bercelana pendek sebatas lutut sambil bertelanjang dada, dan melangkah berjalan tanpa alas kaki.
Mereka semuanya datang dari arah yang sama, dan sepertinya berjalan menuju arah di mana Candi Borobudur berada.
Seperti karnaval? Iya, aku melihatnya seperti itu.
Biasanya kalau karnaval akan kelihatan dari pakaian yang dikenakan masih baru, dan juga pesertanya memakai rias wajah tebal,
tapi kalau ini nggak, polos aja, mereka seperti sedang memakai pakaian yang biasa mereka kenakan sehari-hari, sepertinya memang seperti itulah cara berpakaiannya.
Aku terus memperhatikan rombongan itu, dari saat datang sampai beberapa dari mereka menghilang terhalang jarak pandang.
Aku bertambah yakin kalau tujuannya memang Candi Borobudur, karena memang mereka berjalan ke arah di mana lokasi candi berada.
Nah, yang paling aneh, aku melihat kalau para wisatawan dan orang-orang yang ada di sekitarnya seperti gak menyadari kehadiran mereka, acuh aja, biasa, padahal sangat-sangat menarik perhatian, tapi semuanya seperti gak peduli, seperti gak melihat kehadiran mereka, kan aneh.
“Jibran, ngelamun aja kau, ayok kita masuk.”
Suara ajakan Melvin membuyarkan lamunanku. Benar yang Melvin bilang, kami sudah bisa masuk karena tiket sudah tersedia. Lalu aku bangun dari duduk, kemudian berjalan bersama teman-teman masuk ke lokasi candi.
Sambil berjalan itu, aku masih dapat memperhatikan rombongan tadi. Dari kejauhan, aku melihat beberapa orang yang paling belakang, terus berjalan beriringan menuju candi.
Pada mau ngapain sih orang-orang itu..
Setelah melewati pemeriksaan tiket di pintu masuk, kami lalu berjalan menyusuri jalan yang ternyata berbeda situasinya dari tempat parkir di luar tadi, kali ini lebih ramai, lebih banyak wisatawan.
Sambil berjalan, aku sudah bisa melihat Borobudur yang berdiri megah, puncak stupa yang terlihat dari kejauhan menjadi pemandangan sangat indah, sungguh merupakan satu peninggalan keajaiban sejarah yang menakjubkan.
Sedikit menyinggung sejarah, Candi Borobudur diperkirakan mulai dibangun pada abad ke-9 yang mana saat itu wilayah Magelang dikuasai oleh Dinasti Syailendra yang dipimpin oleh Raja Samaratungga.
Raja bertitah untuk membangun sebuah pembangunan Candi yang kala itu dipimpin oleh seorang arsitek bernama Gunadharma.
Tanpa bantuan kecanggihan teknologi masa kini, Gunadharma menggambar Candi Borobudur yang luasnya mencapai ratusan meter persegi itu.
Dari pembangunan tersebut, Borobudur dapat diselesaikan dalam waktu 50-70 tahun kemudian. Yang mana konon katanya, Gunadharma sendiri gak melihat hasil akhirnya.
Begitulah menurut sejarah yang pernah aku baca, dan yang paling menakjubkan katanya pembangunan candi megah ini hanya menggunakan tenaga manusia, batu-batu sebesar dan sebanyak itu diangkat dan disusun menjadi bangunan tinggi dan besar hanya menggunakan tenaga manusia, salut.
Semakin dekat jarak dengan candi, aku semakin takjub.
Tapi sebentar, ke mana orang-orang yang menarik perhatianku tadi? Kok gak terlihat lagi?
Padahal tadi mereka menuju ke tempat yang aku tuju, berjalan lewat jalan yang aku lewati juga, jumlah mereka banyak dengan cara berpakaian yang menarik perhatian, jadi gak mungkin kalau di dalam lokasi candi tiba-tiba gak kelihatan, menurutku gak mungkin.
Tapi ya sudah, hanya sebatas itu rasa penasaran, selebihnya aku menikmati suasana siang menjelang sore setibanya kami di lokasi Candi Borobudur, bercengkrama bersama teman lainnya.
Langit biru cerahnya semakin pekat, panas hari berkurang seiring bergulirnya sang surya menuju ufuk barat. Wajah ceria wisatawan menjadi pemandangan lainnya, banyak yang sambil berfoto mengabadikan momen ini.
Yang tadinya berjalan bersama, entah di bangunan tingkat berapa akhirnya aku terpisah dari Melvin dan Kiara, lalu berjalan sendiri mengelilingi candi sambil terus memperhatikan setiap detailnya.
Mulai merasa agak lelah, di bagian timur borobudur aku istirahat sejenak, duduk melemaskan kaki yang mulai agak pegal.
Di tempat aku duduk ini pemandangannya sungguh indah, pandangan lepas jauh ke depan tanpa halangan, langitnya sudah gak seterang saat kami tiba tadi, tapi masih dapat menerangi dataran luas di sekeliling candi.
Tapi, pandanganku terhenti di satu bagian halaman candi, yang letaknya sedikit agak ke selatan, di sana aku melihat pemandangan yang menarik perhatian.
Ada sekelompok orang yang sedang berkumpul, jumlahnya puluhan, mereka berdiri membentuk barisan dipimpin oleh beberapa orang yang berdiri di depan.
Beberapa orang yang sepertinya sebagai pemimpin yang sedang memberi pengarahan ini berpakaian baju jawa lengkap dengan kain hitam atau blankonnya.
Sedangkan mereka yang berada di depannya, yang jumlahnya jauh lebih banyak, hanya bercelana pendek selutut, ada sebagian juga mengenakan kain terlilit di pinggangnya, dan tanpa mengenakan alas kaki.
Iya, mereka semua adalah orang-orang yang aku lihat di luar tadi, yang berbondong-bondong masuk ke dalam lokasi candi, aku sangat yakin.
“Pada ngapain mereka di sana ya?” Aku bertanya sendiri dalam hati.
Cukup lama aku memperhatikan, cukup lama aku duduk di tempatku diam sendirian, cukup lama juga sampai akhirnya baru menyadari kalau ada yang aneh di sekitarku.
Apa yang aneh?
Ternyata, aku gak melihat ada satu orang pun yang ada di dekatku, kosong!
Ada yang aneh lagi, ternyata langit sudah berubah warnanya, berangsur memerah dan semakin memerah, menuju gelap, seperti senja yang datang tiba-tiba, padahal baru jam setengah lima sore.
Ah mungkin akan turun hujan, pikirku begitu dalam hati.
Berdiri dari duduk, aku lalu melangkah menuju bagian candi di sisi lain, coba mencari orang selain aku.
Gak ada, aku gak melihat siapa pun, gak bertemu siapa-siapa. Sudah melihat ke atas, menengok bagian bawah, tetap gak ada orang sama sekali.
Aku mulai merasa ada keanehan, mulai merasa ketakutan ketika sejauh mata memandang dari tempatku berdiri, mungkin di bangunan tingkat ke lima borobudur, aku gak melihat ada orang satu pun juga, kosong!
Mulai panik, aku berjalan agak cepat mengelilingi candi di tingkat lima itu, coba untuk mencari manusia lain.
Sementara langit semakin gelap, layaknya waktu mendekati malam.
Gak ada, gak ada orang di atas candi, di halaman, di kejauhan, aku gak melihat ada orang sama sekali.
Kecuali.., benar, kecuali rombongan yang sedang berkumpul di bagian barat tadi, sekumpulan orang yang aku lihat sejak dari tempat parkir.
Kenapa mereka ada? Sementara orang lain gak ada? Termasuk rombongan teman-teman kampusku, mereka semua menghilang.
Lelah ditambah panik, aku berniat untuk turun dari candi lalu menuju rombongan tadi, atau pintu keluar.
Tangga yang menurun panjang jadi tujuan pertama,
Sesampainya di tangga, aku lalu menuruninya selangkah demi selangkah.
Beberapa bagian tangga bentuknya seperti lorong kecil, aku harus sebentar masuk ke lorong itu untuk terus turun, menuruni tingkatannya satu persatu.
Tapi, entah di tingkatan berapa, aku mendadak kaget keheranan, sangat ketakutan.
Beberapa detik sebelumnya, langit masih terang, masih sore, sama sekali belum gelap, itu keadaan ketika aku belum masuk ke satu lorong tangga.
Tapi, ketika aku sudah keluar dari lorong pendek itu, tiba-tiba suasananya sudah sangat berubah, langit sudah sangat gelap, gelap layaknya malam.
Iya, tiba-tiba hari sudah berubah jadi malam. Aku lantas berhenti, heran, takut, takjub, semua perasaan itu bercampur jadi satu.
Kenapa tiba-tiba menjadi malam gelap?
Gak berhenti sampai di situ, ternyata ada keanehan lain..
Aku yang masih terkaget-kaget karena tiba-tiba hari menjadi malam, jadi semakin keheranan karena ternyata di candi ini sudah gak sepi lagi, sudah banyak orang.
Iya, Candi tiba-tiba ramai, gak sepi lagi seperti beberapa saat sebelumnya.
Aku masih diam di tempat, di tangga, belum beranjak bergerak sedikit pun, terus memperhatikan sekeliling yang sungguh sangat membuatku keheranan.
Aku semakin gak habis pikir, ketika sadar kalau ternyata walaupun ramai tapi gak ada satu orang pun yang aku kenali, gak ada teman kampusku yang wara-wiri, gak ada.
Yang membuat aku sangat keheranan gak hanya itu, ternyata semua orang-orang ini berpenampilan sangat khas.
Khasnya gimana?
Mereka semua gak ada yang berpakaian masa kini, mereka semuanya berpakaian layaknya orang-orang jawa zaman dahulu kala.
Sontak aku jadi teringat dengan rombongan orang-orang yang aku lihat di parkiran tadi, mereka masuk ke dalam lingkungan candi, lalu aku melihat mereka berkumpul di bagian barat candi, sebelum hari tiba-tiba berganti malam.
Kenapa aku ingat mereka? Karena perawakannya sama, pakaiannya sama, bahkan beberapa wajahnya aku kenali.
Orang-orang yang hanya bercelana pendek, bertelanjang dada, dan tanpa alas kaki, bertampang dekil berpeluh keringat, adalah orang-orang yang paling banyak kelihatan.
Sementara sebagian kecil orang berpenampilan lebih rapi, mengenakan pakaian lengkap dengan blangkon atau kain penutup kepala, mereka hanya berdiri memperhatikan orang-orang yang bercelana pendek itu bekerja.
Iya, aku bisa berkesimpulan, kalau orang-orang bercelana pendek bertelanjang dada dengan tubuhnya yang berpeluh keringat itu adalah para pekerja,
aku melihat kalau mereka ada yang berjalan mengangkat batu, ada yang memukul-mukul batu besar, ada yang beramai-ramai sedang menarik mengangkat batu besar dengan tali.
Aku yakin mereka para pekerja yang sedang diawasi pekerjaannya oleh “Mandor” mereka yang berpakaian lebih bersih dan rapi.
Ada beberapa pekerja yang melintas dekat denganku, berjalan ke kanan atau ke kiri dengan memanggul batu besar, entah mau di bawa ke mana.
Semuanya sangat nyata, sama sekali gak seperti mimpi, aku merasakan semuanya, melihat semuanya, ini nyata.
Aku terus diam memperhatikan, sampai akhirnya ada seorang laki-laki yang datang mendekat. Sosok laki-laki tinggi besar, berkumis, mengenakan pakaian khas jawa, dengan ikatan kain berwarna hitam melilit di kepalanya.
Dia datang dengan berjalan agak cepat lalu berhenti tepat di hadapan, kemudian berbicara dengan bahasa jawa yang sama sekali aku gak mengerti, satu kata pun aku gak paham apa yang dibicarakan, tapi aku yakin kalau dia bicara menggunakan bahasa jawa dengan logat kental yang khas.
Laki-laki itu terus saja bicara, wajahnya menatapku tajam, sambil sesekali tangannya menunjuk-nunjuk ke bawah, menunjuk ke tangga bagian bawah.
Oh baiklah, aku mengerti, sepertinya dia menyuruhku untuk turun menuruni tangga, turun dari atas candi, aku berpikir seperti itu. Aku mengangguk, lalu menuruti “Perintahnya” untuk turun menuruni tangga.
Satu persatu anak tangga aku turuni, dalam perjalanan menuju ke bawah, sambil terus memperhatikan sekitar, menyaksikan kesibukan para pekerja yang sedang melakukan pekerjaannya masing-masing.
Sebenarnya apa sih yang sedang mereka kerjakan?
Nanti, ketika aku sudah sampai di bawah, di halaman candi, aku akan mengerti semuanya..
***
Gak ada rasa takut, gak ada perasaan was-was, aku hanya merasa aneh dan takjub dengan semua pemandangan.
Dan akhirnya, ketika aku sudah sampai di bawah, ketika kaki sudah menginjak rerumputan di lahan sekitar candi, aku akhirnya bisa melihat semuanya.
Berdiri di atas rerumputan yang letaknya di bawah, beberapa belas meter dari dinding Candi terluar, aku akhirnya bisa melihat dengan jelas.
Ternyata aku sedang menyaksikan proses pembangunan Candi Borobudur..
Yang aku lihat, Borobudur baru hanya setengahnya saja berdiri, hanya bagian bawah sampai tengahnya, sedangkan bagian atas belum rampung.
Itulah mengapa aku melihat banyak pekerja yang mengangkat batu-batu dengan berbagai ukuran, membawanya ke atas untuk diletakkan lalu disusun membentuk bangunan.
Aku takjub memandang semuanya, orang-orang itu bekerja pada malam gelap hanya dibantu penerangan dari cahaya api menyala dari benda yang bentuknya seperti obor dengan berbagai macam ukuran.
Mereka terus bekerja tanpa kenal lelah, dengan kegiatannya masing masing, ya itu tadi, ada yang mengangkat batu, ada yang memecahkan batu, ada yang beramai-ramai menarik batu besar dengan tali, semuanya sibuk.
Semua kejadian yang aku alami ini hanya sebentar, sepertinya hanya 30 menit lamanya, sampai aku tersadar kalau ini bukan tempatku, tersadar kalau sedang “Tersesat” di Borobudur, aku harus mencari jalan supaya bisa keluar dari sini.
Perlahan aku memperhatikan sekitar, ternyata semuanya gelap, keramaian hanya ada di sekitar pembangunan Candi ini saja, aku jadi bingung mau ke mana harus melangkah.
Tapi sebentar, sambil berusaha menajamkan penglihatan di dalam gelap, aku akhirnya melihat ada jalan setapak, jalan setapak yang gak jauh di ujungnya ada gerobak kayu sedang bergerak menjauh.
Aku melihat ada gerobak kayu di kejauhan.
Ya sudah, aku memutuskan untuk mengikuti gerobak kayu itu, dia pasti menuju ke suatu tempat.
Terus menyusuri jalan setapak dalam gelap, lama-kelamaan aku semakin kesulitan untuk melihat, mata terhalang pekatnya malam yang sama sekali gak ada penerangan.
Sial, lambat laun aku kehilangan gerobak yang aku ikuti itu, sampai akhirnya gerobak kayu itu hilang sama sekali dari pandangan, meninggalkan aku sendirian di dalam gelap, berjalan entah ke mana, gak tentu arah.
Di sini aku kembali merasakan panik, gak tahu harus melangkah ke mana.
Seiring bergulirnya waktu, semakin lama aku semakin capek, lelah, kaki makin berat untuk dibawa melangkah.
Badanku lemas. semakin lemas.
Lalu semuanya jadi gelap, sangat gelap..
Aku gak sadarkan diri.
***
“Udah sadar mas, udah sadar.”
“Jibran, bran.., bangun kau.”
Aku mendengar suara-suara itu, ketika baru saja bangun siuman.
Pelan-pelan membuka mata, akhirnya tersadar kalau ternyata aku sedang terbaring di atas kursi panjang di satu ruangan besar, entah ruangan apa.
“Kalo kamu sudah bisa duduk, duduklah Bran, minum air ini dulu.”
Melvinlah yang pertama kali aku lihat, lalu Dendi, lalu satu orang dosenku, lalu ada beberapa orang lagi yang gak aku kenal.
Jadi, aku terbangun di salah satu ruangan yang ada di sekitar candi Borobudur, mereka semua yang berada di ruangan ketika aku bangun, ternyata baru saja menemukan aku.
Menemukan aku?
Iya, menurut mereka, ternyata aku hilang sejak maghrib tadi, aku gak ditemukan di mana-mana, hilang aja, tanpa jejak.
Lalu dilakukanlah pencarian,
Tapi setelah berjam-jam ternyata nihil, aku gak juga ditemukan, padahal pencarian sudah dilakukan ke segala sudut lingkungan candi.
Tapi syukurlah, aku akhirnya ditemukan juga pada jam 12 tengah malam oleh salah satu penjaga Candi.
Ketika ditemukan, aku sedang gak sadarkan diri di bawah salah satu pohon besar di sisi Barat Candi Borobudur.
Selama lebih dari enam jam aku menghilang tanpa jejak, padahal aku sangat yakin kalau hanya setengah jam saja “Tersesat” melihat pembangunan candi, cuma sebentar saja.
Sungguh pengalaman yang seru..
***
Hai, balik ke Brii lagi ya..
Sekian cerita kali ini, sampai jumpa minggu depan.
Tetap jaga kesehatan supaya bisa terus merinding bareng,
Salam,
~Brii~
sumber: kumparan
Tinggalkan Balasan