Ulos adalah pakaian tradisional yang ditenun dengan berbagai pola dan motif yang menarik. Untuk menenun ulos diperlukan konsentrasi yang baik terhadap sejumlah besar benang sehingga menjadi sepotong kain utuh yang dapat digunakan untuk melindungi tubuh. Masyarakat Batak Toba mempercayai bahwa aktifitas menenun ulos merupakan suatu tindakan yang diresapi oleh suatu kualitas religius dan magis, oleh karenanya dalam setiap pembuatan dan pengguna ulos disertai sejumlah pantangan. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, ulos dianggap sebagai benda yang diberkati oleh kekuatan supranatural. Panjangnya harus tepat, kalau tidak dapat membawa kematian dan kehancuran pada tondi (roh) si penenun. Apabila ulos dibuat dengan pola tertentu maka ulostersebut dapat digunakan sebagai pembimbing dalam kehidupan. Ulos adalah salah satu sarana yang dipakai oleh hulahula (pihak pemberi isteri) untuk memberikan pasu-pasu (berkat) kepada boru (pihak penerima isteri). Ulos berfungsi untuk melindungi badan dan juga tondi (roh) orang yang menerima ulos. Pemberian ulosdilakukan dengan membentangkan (mangherbangkon) uloskebadan di penerima ulos, sehingga menutupi badan bagian atas dari si penerima. Pemberiaan ulosbersamaan dengan kata-kata permohonan berkat, seperti pemberian ulos dari mertua ke menantu berikut; “Sai horas ma helanami maruloshon ulos on, tumpahon ni Ompunta martua Debata dohot tumpahon ni sahala nami. Artinya: “Selamatlah menantu kami yang memakai ulosini, diberkati Tuhan yang bertuah dan diberkati kharisma kami”.
Pada mulanya fungsi ulos adalah untuk menghangatkan badan, tetapi ulos memiliki fungsi simbolik dalam segala aspek kehidupan masyarakat Batak Toba. Ulos mempunyai sifat, keadaan, fungsi, dan hubungan dengan hal atau benda tertentu. Terdapat tiga unsur yang mendasarkan dalam kehidupan manusia menurut masyarakat Batak Toba, yaitu darah, nafas, dan panas. Darah dan nafas adalah pemberian Tuhan, sedangkan panas tidaklah demikian. Panas yang diberikan matahari tidaklah cukup untuk menangkis udara dingin dipemukiman masyarakat Batak Toba, terutama pada waktu malam hari. Bagi masyarakat Batak Toba, ada tiga sumber yang dapat memberikan panas kepada tubuh manusia, yaitu matahari, api, dan ulos. Ulosberfungsi memberi panas yang menyehatkan badan. Masyarakat Batak Toba memiliki kebiasaan mangulosi yang artinya memberi ulos, atau menghangatkan badan dengan ulos. Dalam kepercayaan masyarakat Batak Toba, tondi (jiwa) perlu diulosi, sehingga kaum pria yang berjiwa keras mempunyai sifat-sifat kejantanan dan kepahlawanan, dan orang perempuan mempunyai sifat-sifat ketahanan untuk melawan guna-guna.
Ulos juga menjadi istilah yang digunakan untuk pemberian barang selain kain, seperti tanah, yang disebut dengan ulos na so ra buruk (ulosyang tidak akan rusak). Sama dengan ulostenunan, tanah tidak dapat diberikan dengan arah hubungan sosial yang terbalik, yaitu dari boru kepada hula-hula. Bagi boru yang menerima ulos dalam bentuk tanah merupakan pakaian yang tidak pernah rusak. Sifat tanah yang diserahkan kepada boru adalah untuk selama-lamanya (sipatepate), kecuali apabila terdapat persyaratan khusus yang telah disepakati. Tanah menduduki tempat yang sangat penting di antara berbagai pemberian, dimana suatu marga yang memerintah dan bermukim di wilayah leluhur sendiri adalah satu-satunya kelompok yang secara kolektif memegang kekuasaan tertinggi dalam penggunaan tanah, walaupun para anggota yang mengelola tanah telah memiliki bagian-bagiannya. Marga penumpang biasanya adalah marga boru dari marga yang memerintah, marga boru hanya memiliki hak untuk memungut hasil, hak menggunakan tanah yang sifatnya sementara, selama tanah itu ditanami. Dengan demikian hula-hula merupakan penguasa tanah dan menyerahkan sebagian miliknya kepada borunya.
Pemberian hewan ternak dapat juga sebagai ulos, istilah yang dipakai untuk hal tersebut adalah andar ni ansimun (sulur ketimun). Diharapkan ternak yang diberikan hula-hula kepada boru seperti ketimun, berkembang semakin banyak. uang, beras, rumah, pohon, dan masa dahulu hamba lelaki dan perempuan juga dapat diberikan sebagai ulos.
Dalam memberikan ulos(mangulosi) terdapat aturan yang harus dipatuhi, seseorang hanya boleh mangulosi orang lain yang menurut hubungan kekerabatan berada diposisi bawahnya, misalnya orang tua boleh mangulosi anak, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tua. Prinsip kekerabatan suku Batak Toba disebut dengan dalihan na tolu (tungku yang tiga), yang terdiri atas unsur-unsur: hula-hula, boru, dan dongan sabutuha. Seorang boru tidak dibenarkan mangulosi hula-hulanya. Ulos yang diberikan dalam mangulosi tidak boleh sebarangan, baik dalam macam maupun cara membuatnya. Seperti ulos ragi idup yang akan diberikan hula-hula kepada boru yang akan melahirkan anak sulungnya, harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yakni ulos yang disebut ulos sinagok (ulos yang memiliki kekuatan magis penuh). Untuk mangulosi pembesar pemerintahan atau tamu yang dihormati, harus menggunakan ulos jenis ragidup silingo yaitu ulos yang diberikan kepada mereka yang dapat memberikan perlindungan kepada orang lain.
Seorang gadis dapat membujuk ayahnya untuk mendapatkan sebidang tanah. Gadis tersebut kemudian mengumpulkan sedikit demi sedikit hasil tanahnya sampai tiba saatnya ia menikah. Pemberian semacam ini disebut hauma bangunan, tanah yang diberikan karena kasih sayang. Cara ini terutama digunakan oleh si gadis yang bermuka buruk atau cacat, karena tanpa memiliki harta benda, kemungkinan besar tidak ada orang yang mau mengawininya. Tanah semacam ini disebut ulos ni sinamot atau pauseang yaitu harta yang diberikan orang tua kepada anak perempuannya. Pauseang diberikan kepada seorang perempuan agar lebih dihormati (asa sangap) oleh suaminya dan agar hasilnya dapat dinikmati keturunannya. Apabila anak pertama telah lahir, maka boru beserta kerabatnya akan datang berkunjung dengan tujuan lebih menyuburkan dan memperkuat tondi (roh) generasi penerus yang masih bayi itu, yang disebut dengan mangupa-upa. Kakek si bayi akan memberikan sebidang tanah yang disebut dengan indahan arian (nasi siang hari). Apabila boru membawa anaknya yang telah beberapa bulan lahir mengunjungi orang tua (hula-hulanya) atau apabila orang tua boru tersebut telah meninggal dunia, hula-hula atau saudara lelaki yang tertua, akan memberikan ulos parompa, yaitu kain yang akan digunakan menggendong anak di punggung.
Apabila seorang anak perempuan yang sudah berumah tangga sakit keras, orangtuanya akan datang mangupa (tradisi mendoakan). Orang tua perempuan akan menyelimutkan ulos ni tondi yang diterimanya sewaktu mengandung ke tubuhnya dan menghadiahkan kepada borunya sebuah ulos na so ra buruk, agar tondinya(roh) hidup lagi serta tubuhnya segar bugar berkat kekuatan yang terkandung dalam kain dan bidang tanah yang diterimanya. Apabila suami seorang perempuan meninggal, adik laki-laki suaminya dapat menikahi janda abangnya. Perkawinan tersebut dalam antropologi disebut perkawinan levirat. Levirat dalam istilah antropologis adalah kebiasaan untuk mengawini janda saudara laki-laki pada berbagai bangsa di dunia. Jenis perkawinan demikian diterima dalam suku Batak Toba. Orang tua perempuan yang menjanda dapat menerima jenis pernikahan levirat karena borunya (anak perempuannya) tidak akan pergi menikah ke marga yang lain lagi. Orang tua perempuan akan memberikan kain pendorong semangat yang disebut ulos pangapo. Gagasan yang sama menjadi dasar dari orang tua untuk memberikan anak perempuannya suatu upa mangunung (biasanya berupa sawah), sebagai bujukan agar si anak mau kawin dengan seorang lelaki yang disetujui orang tua, tetapi tidak disukai oleh anak perempuannya.
Apabila seseorang atau keluarga mendapat kemalangan ulos dapat diberikan kepada seseorang atau keluarga tersebut dengan harapan sipenerima mendapat kesejahteraan (horas jala gabe). Ulos tersebut mungkin harus ditenun oleh hula-hula yang jauh, jika datu (dukun) menganjurkannya secara khusus. Apabila ulosyang ditenun tersebut membuahkan berkat yang didambakan, jadilah ulos tersebut sebagai benda keramat atau pusaka bagi pemiliknya atau keturunan penerimannya.
Ulos memiliki beragam fungsi sosiobudaya. Di antaranya berfungsi untuk memperkuat identitas masyarakat, dimana melalui ulos masyarakat Batak Toba memperkuat identitas atau jati diri kebudayaannya. Ulos juga berfungsi sebagai simbol kebudayaan, di mana di dalam ulos terkandung berbagai makna dalam bentuk indeks, ikon, dan lambang kebudayaan. Ulos juga berfungsi untuk meneruskan nilai-nilai dari satu masa ke masa berikutnya. Ulos berfungsi pula untuk menentukan stratifikasi sosial masyarakat Batak Toba, yang terdiri dari tiga kelompok (dalihan na tolu), yaitu kelompok satu marga yang ditarik secara patrilineal
(dongan tubu), kelompok pemberi isteri (hula-hula), dan kelompok penerima isteri (boru). Ulos juga berfungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai estetika masyarakat Batak. Dapat dilihat pada saat manortor (tari tradisional Batak), setiap orang selalu menggunakan ulos. Gerak tubuh hula-hula yang memberkati boru dan boru yang manomba (menyembah) hulahula pada saat manortor selalu seiringan dengan menggunakan kain ulos. Melalui ulos dapat dilihat keindahan yang terdapat dalam falsafah masyarakat Batak Toba. Ulos juga berfungsi untuk menjaga integrasi sosial. Ulos juga berfungsi untuk mengabsahkan berbagai upacara adat. Ulos juga digunakan sebagai tanda penghormatan dan penerimaan sebagai anggota masyarakat Batak Toba kepada para pemimpin atau tokoh mayarakat. Beberapa pimpinan di tingkat desa, kecamatan, kabupaten dan kota, provinsi, bahkan negara Indonesia selalu dikenakan ulos ketika berkunjung ke satu daerah begitu pula tokoh masyarakat yang bermaksud untuk mensosialisasikan program pribadi atau instansinya. Dengan demikian ulos berperan sebagai perwujudan nilai-nilai budaya, estetika, dan sistem nilai.
sumber: Harisan Boni Firmando
Tinggalkan Balasan