Tunggal Panaluan, Tongkat Sakti Suku Batak

15 Aug 2023 3 min read No comments Uncategorized @id
Featured image

Tunggal Panaluan dikenal sebagai tongkat antik di etnis Batak. Tongkat ini dipercaya memiliki kekuatan magis yang sakti.
Tunggal Panaluan diketahui terbuat dari pohon Tada-tada yang memiliki ukuran cukup panjang sekitar 150 hingga 200 cm dengan ukiran menyerupai kepala manusia.

Dilansir melalui website Badan Pelaksana Otorita Danau Toba (BPODT), Tunggal Panaluan ini hanya dimiliki para Datu. Tongkat dipercaya berisi roh leluhur yang dapat memanggil hujan maupun menyembuhkan orang sakit.

Terciptanya Tunggal Panaluan dipercaya berawal dari kisah suami-istri yang belum diberi keturunan selama delapan tahun. Namun begitu Guru Hatia Bulan atau Datu Arak Pane dan Nan Sindak Panaluan tak pernah putus doa dan keyakinan untuk terus berharap untuk memiliki anak.

Berkat kesabaran mereka, Nan Sindak Panaluan akhirnya hamil setelah bertahun-tahun. Namun, selama istrinya mengandung, Guru Hatia Bulan ternyata terus dihantui mimpi buruk.

Bertepatan saat hari buruk yang dipercayai suku Batak (Ari Sirangga Pudi), Nan Sindak melahirkan bayi kembar sepasang yang diberi nama Aji Donda Hatahutan Situan Parbaring dan Tapi Nauasan Sibotu Panaluan.

Sewaktu upacara penabalan nama, para tetua di kampung ternyata menganjurkan Hatia Bulan untuk memisahkan kedua anak kembarnya. Hal itu diminta agar tak terjadi bencana di kemudian hari.

Namun, lantaran Guru Hatia sudah lama merindukan untuk memiliki anak, dirinya tak mengindahkan anjuran tersebut. Ia dan sang istri membesarkan anak tersebut dengan penuh kasih sayang.

Seiring tumbuh besarnya Aji Donda dan Tapi Nauasan, mereka dipandang warga kampung seperti sepasang kekasih. Hal ini lantaran mereka sering bersama dan tampak mesra.

Suatu ketika, bencana kekeringan melanda kampung Hatia Bulan selama tiga bulan. Kemarau ini mengakibatkan gagal panen dan mengeringnya mata air yang membuat warga kampung sengsara.

Melihat hal ini, para tetua kampung dan adat melakukan penerawangan untuk mencari tahu penyebab bencana kekeringan ini. Berdasarkan penerangan mereka, bencana ini terjadi lantaran adanya hubungan terlarang saudara sedarah.

Warga kampung kemudian langsung tertuju dengan Aji Donda dan Tapi Nauasan. Mereka kemudian disidang dan dicerca dengan berbagai pertanyaan yang membuat keduanya hanya terdiam ketakutan.

Guru Hatia Bulan pun pasrah dengan hasil suara terbanyak warga kampung untuk mengusir kakak-beradik ini keluar dari kampung. Guru Hatia kemudian membuatkan Sopo di tengah hutan dan seekor anjing penjaga.

Di dalam hutan, ada sebuah pohon berduri, tak jauh dari sopo Aji Donda dan Tapi Nauasan. Pohon yang dikenal dengan nama Tada-tada ini memiliki buah berwarna merah tua, apabila sudah masak.

Bentuknya bulat seperti anggur dengan rasa asam manis segar apabila dipijat-pijat.

Suatu hari, Tapi Nauasan melihat pohon tersebut berbuah lebat yang sudah merah. Ia pun meminta Aji Donda memanjat pohon tersebut. Aji pun menuruti dan naik ke pohon tersebut.

Namun, bukannya berhasil memetik, tubuh Aji Donda justru terjerumus ke dalam batang pohon yang hanya menyisakan kepalanya saja.

Tapi Nauasan yang menunggu menjadi khawatir lantaran Aji Donda tak kunjung turun. Ia pun menyusul memanjat pohon tersebut namun ternyata mengalami nasib serupa.

Selendang yang ia kenakan terjatuh dan diambil oleh anjing peliharaan mereka yang kemudian dibawa kepada Guru Hatia Bulan.

Guru Hatia bulan kemudian lari ke hutan dan melihat kedua anaknya sudah menyatu ke pohon. Ia pun segera mencari pertolongan kepada para datuk.

Lima datuk berusaha menolong Aji Donda dan Tapi Nauasan namun mereka justru mengalami nasib serupa. Kini sudah tujuh kepala bertengger yang membuat Guru Hatia Bulan hampir putus asa.

Dukun terakhir, Datu Parpansa Ginjang melakukan ritual penyelamatan yang berbeda dari datu sebelumnya. Ia terlebih dahulu membacakan doa, meminta persembahan dan manortor. Selain itu, juga ada pemotongan kerbau, penebangan pohon tada-tada yang dibawa pulang ke kampung.

Untuk menghentikan tangisan Nan Sindak Panaluan, batang pohon tada-rasa dipahat menyerupai anak kembarnya. Selain itu juga ada pahatan datu yang ikut menolong.

Bagian paling atas adalah ukiran pahatan Aji Donda yang dilengkapi rambut dari benang tiga warna yaitu putih, merah, dan hitam.

Tunggal Panaluan selalu dibawa kemanapun Guru Hatia Bulan dan Nan Sindak pergi. Tongkat ini membuat kedua anaknya selalu berada di sisinya. Tongkat ini pun mendapat keistimewaan seperti diupacarai dan ditortor.

Roh-roh yang kemudian berdiam di tongkat ini dikenal sakti yang siapapun memegang tongkat ini tak terkalahkan. Sepeninggal Guru Hatia, tongkat ini diwariskan kepada para datu dan menghilang saat Belanda menyerang.

sumber:  https://detik.com

Author: Bang Ferry

Share:

Tinggalkan Balasan